Apakah Anda pernah melihat seseorang atasan atau orang tua memarahi anak buah atau anaknya? Benarkah memarahi seseorang bukan di depan umum adalah lebih baik? Atau malah lebih kejam? Beberapa teori tentang marah bisa saja muncul untuk membela setiap tindakan tergantung dari sudut mata mana seseorang memandang. Termasuk memarahi dengan lembut atau keras, dengan dalih keyakinan atau ngawur, dengan apapun metodenya.
Hasil dari kita memarahi seseorang tersebut bisa menimbulkan hasil yang seseorang yang "greget"(Passionate) atau kita yang "gregetan" (tambah sebel).
Bagaimana menginvestasikan Karakter Anda menjadi Aset SIKAP (Attitude) yang menguntungkan SEUMUR HIDUP? Menjual Tanpa Pernah Ditolak, Memimpin Dengan Otoritas, Menyelesaikan Konflik Menjadi Peluang dan Membuat Goal Setting, dengan KONSEP: Attitude Performance Indicator, Bimbingan Belajar dan "Money Back Guarantee" serta Free Lifetime Counseling.
Total Tayangan Halaman
Entri Populer
-
Setuju tidak setuju, adalah sebuah fakta bahwa pola pikir kita sangat menetukan cara kerja kita. Ketika masih duduk di bangku TK, kita...
-
MENGENAL TEKNIS dan NON-TEKNIS DALAM KESEIMBANGAN HIDUP Beberapa pertanyaan atau perdebatan cukup menarik ...
-
Widi Keswianto SE,MM,AFP,FChFP " Kita adalah Karunia Ciptaan Tuhan yang Luar Biasa yang sebenarnya berteknologi tinggi & memiliki...
-
Tweet Sepotong lagu yang selalu populer saat kita masih balita dan dipopulerkan langsung oleh orang tua atau orang terdekat kita saa...
Sabtu, 24 Juni 2017
Why Asians Are Less Creative Than Westerners
Ada sebuah buku kontroversial yg ditulis oleh seorang professor dari University of Queensland yang teryata membuka mata hati saya mengenai sesuatu. Easteners dan Westeners, dua komunitas yang jauh berbeda baik dari segi lifestyle, edukasi, maupun pola berpikir. Professor yg bernama Ng Aik Kwang tersebut , memberikan gambaran perbedaan tersebut dilihat dari segi edukasi dan pola berpikir di antara keduanya sekaligus memberikan solusinya. Berikut ini adalah kutipan dari buku tersebut yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001).
Kutipan di bawah ini, diambil dari milis mahasiswa di program studi yg sedang saya tekuni. Semoga bermanfaat. Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001), yang dianggap kontroversial itu, tapi ternyata menjadi "best seller", mengemukakan tentang perbedaan yang nyata antara Easteners dan Westeners dari segi edukasi dan pola berpikir. http://www.idearesort.com/trainers/T01.p)
Mengemukakan beberapa hal ttg bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang.
• Bagi kebanyakan org Asia, dlm budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.
• Bagi org Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lbh dihargai drpd CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
• Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut. Oleh karena itu, murid2 di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dlm Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yg berbasis inovasi dan kreativitas.
• Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibat-nya sifat eksploratif sbg upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
• Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
• Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi stlh sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan. Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bbrp solusi sebagai berikut :
• Hargai proses. Hargailah org krn pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
• Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
• Jangan jejali murid dgn banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar2 dikuasainya.
• Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg lebih cepat menghasilkan uang
• Dasar kreativitas adlh rasa penasaran & berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
• Guru adlh fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dgn bangga kalau kita tidak tahu.
• Passion manusia adalah anugerah Tuhan..sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya. Mudah2an dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gigihhelma051089/why-asians-are-less-creative-than-westerners_55009f6aa333118d735113e2
Kutipan di bawah ini, diambil dari milis mahasiswa di program studi yg sedang saya tekuni. Semoga bermanfaat. Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001), yang dianggap kontroversial itu, tapi ternyata menjadi "best seller", mengemukakan tentang perbedaan yang nyata antara Easteners dan Westeners dari segi edukasi dan pola berpikir. http://www.idearesort.com/trainers/T01.p)
Mengemukakan beberapa hal ttg bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang.
• Bagi kebanyakan org Asia, dlm budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.
• Bagi org Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lbh dihargai drpd CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
• Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut. Oleh karena itu, murid2 di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dlm Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yg berbasis inovasi dan kreativitas.
• Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibat-nya sifat eksploratif sbg upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
• Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
• Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi stlh sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan. Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bbrp solusi sebagai berikut :
• Hargai proses. Hargailah org krn pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
• Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
• Jangan jejali murid dgn banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar2 dikuasainya.
• Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg lebih cepat menghasilkan uang
• Dasar kreativitas adlh rasa penasaran & berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
• Guru adlh fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dgn bangga kalau kita tidak tahu.
• Passion manusia adalah anugerah Tuhan..sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya. Mudah2an dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gigihhelma051089/why-asians-are-less-creative-than-westerners_55009f6aa333118d735113e2
Kamis, 19 Desember 2013
Mengenal Teknis dan Non Teknis dalam Keseimbangan Hidup
MENGENAL TEKNIS dan NON-TEKNIS
DALAM KESEIMBANGAN HIDUP
DALAM KESEIMBANGAN HIDUP
Beberapa
pertanyaan atau perdebatan cukup menarik kami dapatkan dalam konseling sbb:
- Seorang anak remaja yang saat ini sedang masa kuliah, mempertanyakan mengapa sang ortu yang katanya sudah banyak belajar tentang kepribadian, hipnosis dsb tetap memaksakan kehendaknya kepada dirinya yang sudah seharusnya bisa ambil keputusan. Bahkan bisa lebih ngambek kalau tidak dituruti.
- Mereka yang telah mengambil gelar setelah kuliah begitu mahal, ternyata tidak seperti yang diharapkan para ortu, wali dan terutama pimpinan di tempat pekerjaannya. Sebagai contoh apakah karyawan memiliki gelar Sarjana lebih baik atau menguntungkan perusahaan dari pada karyawan non gelar pada saat ini?
- Begitu banyak profesional yang nyasar dalam bidang pekerjaan yang bukan jurusannya, sehingga saat ini bisa dilihat fenomena unjuk rasa akibat mereka stres dan merasa pihak luar perusahaan yang mengajak demo itulah harapan besarnya. Jangan dikira yang mendukung demo itu level buruh lho, banyak yang mendompleng situasi tsb dengan alasan kalau buruh dinaikkan maka otomatis pasti "nyundul".
- Perdebatan memilih pemimpin yang mana diinginkan ternyata tidak seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat yang memilihnya. Misalnya syarat memilih pemimpin yang baik itu harus lebih kuat soal Teknis (gelar, pengalaman dsb) atau Non Teknis (kejujuran, kewibawaan dsb) mana yang lebih diutamakan.
Untuk bisa menjawab ke empat hal tsb diatas, mari kita berpikir secara
logika sbb:
- Bagaimana bila kita mencoba mengukur temperatur dengan alat ukur penggaris, atau
- mengukur berat badan dengan jam dinding atau
- mengukur kecepatan dengan stop watch.
Yang mana dari ketiga pengukuran tadi yang benar?
APA ALAT UKUR SALARY SEORANG PEMULA, PROFESIONAL dan PERUSAHAAN?
- Ketika seseorang melamar pekerjaan apakah lazim menggunakan alasan/”UKURAN” kenaikan harga sewa rumah, susu, dsb untuk menentukan SALARY-nya?
- Demikian pula apakah rasio Pendapatan dan Pengeluaran terhadap SDM sudah pernah diukur?
- Saat seseorang profesional mengajukan alasan/”UKURAN” kenaikan SALARY dengan ukuran kenaikan harga shampoo atau cicilan mobil?
- Bagaimana perusahaan secara keseluruhan mengukur masa depan PENDAPATAN SDM dan PERUSAHAAN sendiri
4 Tahap
Secara naluri manusia pasti akan
mencari cara untuk mengukur sesuatu yang “penting” (disadari atau tidak) dengan
akal budi-nya untuk bisa mengaturnya karena rupanya itulah kepentingannya:
- Tahap Mengenal
- Tahap Mengukur/Mengatur
- Tahap Merencanakan
- Tahap Menciptakan
Tahap 1
(mengenal)
Kalau kita
lihat setiap orang diberikan waktu 24 jam sama rata oleh Tuhan,
akan tetapi mengapa tidak semua orang menyadarinya? Atau mengapa hanya beberapa
orang yang bisa menghargainya dengan tepat waktu setiap saat? Disinilah kita
bisa melihat mereka yang telah meng "hargai" sebuah karunia
Tuhan dengan cara mengukur (dengan alat yang tepat contohnya: sebuah
jam).
Tahap 2
(mengukur dan mengatur)
(mengukur dan mengatur)
Setelah seseorang
senang bisa mengukur waktu dengan jamnya, maka mereka mencoba membuat janji
untuk melakukan sesuatu dan saat itulah mereka perlu mengatur waktunya (dengan
alat yang namanya AGENDA) untuk bekerja lebih efisien dalam 24
jam. Sebuah pemikiran yang simpel bukan?
Dengan tahap 1 dan
2 saja kita tanpa sadar sudah diajarkan sedari kecil bahwa begitu pentingnya
saat belajar di sekolah. Anda pasti sudah lolos semua melewati masa-masa
tsb soal AGENDA sampai dengan kelas di SD.
Tahap 3
(merencanakan)
Mengingat
begitu bervariasinya janji dan "to do list" seseorang, maka kita
mulai belajar mengenal perencanaan lebih ketat tidak hanya untuk hari ini saja,
karena semua persoalan tidak bisa diselesaikan dalam 24 jam, maka sebagian
besar kita mulai belajar membuat RENCANA dalam jadwal mingguan
atau bulanan bahkan tahunan. Biasanya di sekolah kita semua juga sudah belajar
jadwal bulanan atau semesteran sampai dengan di SMP bukan?
Tahap 4
(menciptakan)
Akhirnya kita
sampai juga di SMA dimana sudah mulai banyak kita belajar MENCIPTAKAN
sesuatu dengan waktu yang tersedia. Beberapa sekolah SMP mengijinkan siswanya
ikut dalam lomba2 yang mencipta juga. Disinilah kita bisa melihat mereka yang
pintar dan cerdas menggunakan waktunya, biasanya mendapatkan reward yang luar
biasa sebagai bekal mereka untuk lulus ke jenjang pendidikan selanjutnya.
CONTOH HASIL 4 TAHAP
- Bila kita belajar sekian jam, maka bisa “menciptakan” NILAI sekian.
- Bila kita bekerja sekian jam, maka bisa “menciptakan” UPAH sekian
Dengan demikian, kita
bisa menambah NILAI atau UPAH kita:
- Menambah “JAM BELAJAR/KERJA” atau/dan
- Meningkatkan “EFISIENSI/EFEKTIVITAS BELAJAR/KERJA”
Manakah PILIHAN TERBAIK MENURUT ANDA? Tentunya bukan dengan ber-“unjuk
rasa” kerja sama dengan pihak luar bukan?
Fakta-fakta yang kita bisa cari di google:
SDM kita terbukti sangat handal dan bahkan semenjak pelajar INDONESIA
meraih banyak juara TERATAS di berbagai olimpiade iptek di tingkat dunia
¢
http://www.metrotvnews.com/lifestyle/read/2013/10/01/915/185364/SDM-Indonesia-Terbaik-Keempat-di-Dunia
¢
Metrotvnews.com: Berdasarkan Indeks
Dinamika Global 2013 dari Grant Thornton, Indonesia saat ini masuk ke dalam
urutan lima besar dunia sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM)
terbaik. Hasil survei yang dilakukan Grant Thonton itu dirilis setelah menakar
lingkungan pertumbuhan ekonomi dari 60 negara terbaik di dunia dan menempatkan
Indonesia di posisi keempat.
Gbr hasil search google: Pelajar Indonesia
Juara
Akan tetapi mengapa setelah berkarir, SDM kita terbukti terkorup dan
tertinggal...
¢
http://m.rmol.co/news.php?id=99244
¢
Berdasarkan penilaian World Economic Forum (WEF)
pada 2012 tercatat daya saing Indonesia masih rendah dibandingkan dengan
perusahaan internasional maupun lingkungan regional Asean. Indonesia berada di
peringkat 50 pada tahun lalu dari 144 negara di bawah Singapura (urutan
kedua), Malaysia (urutan 25), Brunei Darussalam (urutan 28), dan Thailand
(urutan 38).
Demikian juga data yang diterbitkan oleh United Nations Development Programs (UNDP) tentang Indeks Pencapaian Teknologi dan Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia menempati urutan 124 dari 178 negara, selain itu data keadaan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 2012 yang tumbuh 6,2%.
Demikian juga data yang diterbitkan oleh United Nations Development Programs (UNDP) tentang Indeks Pencapaian Teknologi dan Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia menempati urutan 124 dari 178 negara, selain itu data keadaan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 2012 yang tumbuh 6,2%.
Gbr hasil search google: Juara Korupsi
Mari kita coba
cermati dimana sumber permasalahannya:
¢
Dimulai dari sekolah:
Gbr Saat ber-sekolah/kuliah soal Teknis belum
tentu diimbangi dari pelatihan Non Teknis
¢
Demikian pula saat berpacaran sd berkeluarga:
Gbr Saat ber-pacaran dan ber-keluarga soal
Teknis belum tentu diimbangi dari kemampuan Non Teknis
¢
Juga saat bekerja atau berbisnis:
Gbr Saat ber-karir soal Teknis belum tentu
diimbangi dari kemampuan Non Teknis
¢
Di sekolah ataupun di tempat kerja kemampuan
TEKNIS seseorang bisa secara otomatis didapatkan dan langsung bisa dilihat
RAPOR-nya. Akan tetapi inilah persoalannya, Rapor NON TEKNIS tidak pernah
dikeluarkan atau dikenali, tetapi justeru hanya menjadi bahan rapat atau curhat
antar pimpinan atau teamwork. Tanpa disadari inilah yang terjadi kekecewaan
yang muncul dan itulah ke empat perdebatan yang terjadi di awal tulisan ini.
Sekarang sudah
semakin jelas mana yang gampang diajarkan secara TEKNIS dan mana yang tentunya
juga bisa diajarkan secara NON TEKNIS, terlebih kita bisa melihat sebenarnya
yang lebih diutamakan dalam sebuah profesionalitas IDEAL adalah GABUNGAN
KEDUANYA bukan? (coba dibaca kata2 satu baris dengan kata sambung DAN, sungguh
luar biasa bukan?
Gbr Kombinasi SANGAT IDEAL Teknis dan Non
Teknis sebagai PASSION OF TEAMWORK
Kita sekarang
mencoba melihat dari sisi bahwa setiap SDM ibarat sebuah wadah, memiliki
kapasitas yang bisa terus berkembang untuk menampung “berkat” yang dicurahkan
oleh YME. Sama seperti hujan yang diberikan YME diberikan merata kepada setiap
orang, dan mereka yang bisa menampungnya maka ybs akan bisa menerima, menikmati
berkat- berkat tersebut dan tidak terbuang. Dimana pertumbuhan dinding2 kapasitas
SDM tsb sangat bergantung dengan sisi vertikal (NON TEKNIS) dan sisi horisontal
(TEKNIS):
¢
Bila sisi TEKNIS dan NON TEKNIS yang berkembang
seimbang maka bisa, kapasitas SDM akan meningkatkan meningkat dan sekaligus
meningkatkan daya tampung berkat yang tersedia:
Gbr: Wadah kapasitas SDM bila sisi TEKNIS
dan NON TEKNIS yang berkembang seimbang
Bekal pelatihan
SDM yang tidak seimbang antara TEKNIS dan NON TEKNIS akan menyebabkan SDM
sangat mudah menjadi stres, seperti yang kita lihat/dengan berita-berita saat
ini:
- http://www.beritametro.co.id/peristiwa/ingatkan-pejabat-tak-nyalakan-ponsel-dalam-pesawat-febriani-malah-dipukul
- http://www.bartytheme.com/mp3/kenapa-sosiolog-ui-thamrin-tomagola-disiram-air-oleh-munarman-jubir-fpi.html
- Dan masih banyak lagi...
Sudah di Tahap
Berapakah Anda?
¢
Sekarang, sudah di tahap berapakah Anda?
Sudahkah kita mengerti mengapa anak2 sekolah masih bisa menjawab 2 tahun lagi
akan menjadi apa sementara mereka yang lebih dewasa malah tambah bingung?
¢
Dan sekarang sudahkah kita pahami mengapa masih
terjadi “salah asuhan” dalam membina SDM baik dalam keluarga, sekolah maupun di
tempat kerja?
MENGAPA FAKTOR NON-TEKNIS (attitude) BEGITU
SULIT DIKENDALIKAN?
- Adanya kebiasaan pola pikir yang keliru: apa yang didoakan secara verbal dan non verbal (tertulis) contoh: FB dan NYANYIAN TRADISI
- Kurangnya kesadaran PELATIHAN dan CARA yang tepat sedari AWAL (masa probation)
- ASUMSI fatal: TEKNIS menghasilkan NON-TEKNIS secara otomatis
Semoga dengan informasi ini kita
semua bertambah peduli tentang pelatihan TEKNIS dan NON TEKNIS yang seimbang. Btw,
Pelatihan NON TEKNIS sama sekali bukan pelatihan SOFT SKILL.
Ir. William Wiguna,
CPHR., CBA., CPI.
HP/WA: 0818-839469
Twitter: @williamwiguna
www.facebook.com/groups/careplusindonesia/
Minggu, 23 Desember 2012
Refleksi Akhir 2012: Kebiasaan Menghitung Masalah atau Prestasi?
Refleksi Akhir 2012: Kebiasaan Menghitung Masalah atau Prestasi?
Pernahkan Anda menghitung waktu sendiri dan bersama orang lain saat merenung atau berdiskusi: soal apakah yang paling banyak diperbincangkan?
Dalam film "Source Code", ada gambaran singkat bila seseorang mampu mengulang 8 menit kejadian sebelum otak seseorang mati total maka ada 6 skenario yang dipertunjukkan di dalam film tsb. Apakah kita masih punya kesempatan seperti dalam film "Source Code" tsb? Tentu aja tidak. Karena film tsb seolah menjelaskan bahwa dari sekian banyak skenario manusia kadang terlampau lambat atau selalu salah memutuskan skenario mana yang seharusnya dipilih saat bertindak/diskusi: soal nasib, soal masa lalu, soal orang lain, soal pribadi, kesulitan atau kemudahan.
Pernahkan Anda menghitung waktu sendiri dan bersama orang lain saat merenung atau berdiskusi: soal apakah yang paling banyak diperbincangkan?
Dalam film "Source Code", ada gambaran singkat bila seseorang mampu mengulang 8 menit kejadian sebelum otak seseorang mati total maka ada 6 skenario yang dipertunjukkan di dalam film tsb. Apakah kita masih punya kesempatan seperti dalam film "Source Code" tsb? Tentu aja tidak. Karena film tsb seolah menjelaskan bahwa dari sekian banyak skenario manusia kadang terlampau lambat atau selalu salah memutuskan skenario mana yang seharusnya dipilih saat bertindak/diskusi: soal nasib, soal masa lalu, soal orang lain, soal pribadi, kesulitan atau kemudahan.
Sebenarnya hampir sama seperti skenario di "Source Code",
dalam kehidupan nyata, selama 24 jam kita di"biasa"kan dengan
tindakan-tindakan berulang dan hal ini menunjukkan bahwa manusia
adalah "makhluk kebiasaan", yaitu mencoba hidup lebih baik dengan
kebiasaan-kebiasaan. Salah satu adegan dalam film "Life of Pi", seekor harimau bisa di"biasa"kan hidup selama 6-7 bulan untuk berdamai dengan seorang Pi di tengah-tengah lautan yaitu menunggu dan memakan ikan yang harus di"biasa"kan dicari oleh Pi, karena kalau tidak Pi yang akan disantap harimau. Akhirnya Pi menyadari tanpa harimau yang harus dikasih makan sekaligus menjadi "teman kerja" yang mampu membuat Pi bertahan hidup selama 7 bulan! Bagaimana kita menyadari kehidupan dengan tindakan berulang-ulang itulah isi pesan dari kedua film yang sangat menarik bisa kita terapkan dalam hidup. Percayalah akhir tahun 2012 ini akan memulai awal tahun 2013 berulang-ulang, akan tetapi apakah sudah kita memilih skenario yang benar? Setiap kali ada waktu bersama pasangan, keluarga, teman main atau teman kerja dsb, apakah skenario: 1. "Cari masalah" yaitu adu/membandingkan besar masalah sendiri dengan orang lain? 2. "Soal nasib" yaitu mencoba melihat nasib sendiri dengan melihat nasib orang lain? 3. "Soal kesialan" yaitu merasa sial menikah/bertemu/berteman dengan seseorang atau keluarga besar-nya? 4. "Soal kesempatan" yaitu menghitung waktunya untung rugi bila kita sudah tahu hukum kebiasaan. Saya menyarankan ambil skenario 4: lupakan soal perasaan gengsi atau apapun batasan bila kita mau memulai untung-ruginya soal kebiasaan. Sama seperti hukum gravitasi: tidak pandang soal apapun, selama sesuatu di bumi memiliki massa/berat pasti patuh yaitu jatuh kebawah. Demikianlah soal kebiasaan kita berdampak. Stop merasa korban atau menciptakan korban-korban baru dengan harapan orang-orang bisa mengerti betapa sakit hati Anda, tetapi tetaplah belajar menghitung ulang (selama masih ada waktu dan kita masih sehat) apa untungnya kebiasaan-kebiasaan perilaku Anda. Praktekkanlah dan lihatlah "mukjijat-mukjijat" yang masih bisa Tuhan ijinkan kita lihat di penghujung tahun 2012 ini. Salah satu mukjijat yang penulis dapatkan adalah semakin kita menghitung untung sesuatu perilaku akan semakin yakin untuk melakukan perilaku menguntungkan selanjutnya. Jadi ngga cukup kan cuma bilang "I am sorry", "Please" dan "thank you" tetapi yang lebih penting masih bisakah kita menghitung tindakan perilaku positif Anda dan orang lain? |
|
inserted at 2012-12-17 10:00:00 | (Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.) |
Testimoni Manager HRD Buccheri Group tentang Program Passion of Teamwork (BKPI Program)
Pengalaman mengikuti Program BKPI di BUCCHERI Group
· Program BKPI di Buccheri Group telah diawali dengan Seminar
PREVIEW tanggal 04 Mei 2012 selama satu jam dan Kick Off Training tanggal 19 Mei 2012 selama empat jam.
Setelah itu dilanjutkan COACHING yang disampaikan oleh Bapak William Wiguna dan
Tim Care Plus Indonesia secara simultan selama 2-3 jam, dengan Siklus/Target
Pelatihan (6 bulan pertama) setiap hari Selasa di Kantor Pusat PT. Buccheri
Indonesia, dengan Agenda Coaching sebagai berikut :
1.
Mengambil Data, Mengukur Tingkat Kepercayaan
dan Membuat Passport Pribadi
2.
Latihan dan Konseling Problem
3.
Latihan Scoring Pribadi/TEAMWORK
4.
Memulai Passport Pribadi dan
Handling Objection
5.
Memulai Menambah BKPI
("jurus")
6.
Scoring Final UJI COBA PERTAMA
Selain itu diadakan dua kali WORKSHOP
pada bulan Juli dan Oktober 2012. Buku LIFE TIME yang ditulis dan diterbitkan sebagai
pilihan bagi peserta coaching untuk menambah wawasan mereka.
Program rekap rapor sudah dimulai sejak siklus 4 dan siklus
5, semua sudah bisa mendapatkan nilai maksimal yaitu 100% sehingga bisa
dilanjutkan dengan jurus EFISIENSI dan EFEKTIVITAS di siklus 6.
Ada 44 peserta yang mengikuti workshop kedua pada tanggal 30
Oktober 2012 dan semuanya memberikan feedback sebagai berikut :
o
(95%) 42 peserta menyatakan bisa
menerima informasi lengkap dengan BAIK
o
(97%) 43 peserta menyatakan
perlengkapan disiapkan dengan BAIK
o
(95%) 42 peserta menyatakan program
BKPI bisa MENYELESAIKAN MASALAH
o
(100%) 44 peserta menyatakan program
BKPI bisa MENDUKUNG KERJA dan KARIR
o
(95%) 42 peserta menyatakan MAU
MELANJUTKAN PROGRAM BKPI
Sampai berakhirnya program
BKPI pada tanggal 29 Nopember 2012, sebanyak 48 peserta mengikuti program
ini yang secara tetap.
Ada 8 peserta yang hanya dapat mengikuti coaching sampai dengan siklus 4 atau 5,
tidak dapat mengikuti program hingga tuntas
di siklus 6 yaitu menambah jurus terkait efisiensi → hemat dan
efektivitas → target, disebabkan sedang cuti melahirkan atau tugas ke luar
kota.
· Dari hasil SUMMARY RAPORT terlihat
pada umumnya score karyawan telah mencapai 80-100% dan sebanyak 48 orang (sampai dengan tanggal
20 Nopember 2012 telah menambah jurus kerjanya).
· Pada awalnya kami dari tim HRD sangat sulit menggerakkan
teman-teman untuk mau memberikan LL 100% (Laporan Lengkap 100%) kepada
atasan dan IL 100%
(Informasi Lengkap 100%) kepada sesama teman kerja atau bawahannya.
·
Pekerjaan ini awalnya sangat membosankan karena rutin dan dilakukan setiap
hari, namun seperti tergambar
dalam film Karate Kid, tak terasa kami jadi terasah dan terbiasa dan rasanya kami bisa tambah
jurus kerja dengan bekerja lebih lagi dari yang biasa kami lakukan sehari-hari.
·
Tanpa sadar prilaku melapor dan memberikan informasi ini
terbiasa kami lakukan.
·
Tetapi yang terpenting adalah sebagian besar (80%) karyawan
telah menunjukkan prilaku yang meningkat dengan membuat LL dan IL. Tak terkecuali Direktur juga mengisi BUKU PASSPORT-nya dengan
lengkap dan dibuktikan dengan SCORE
RAPORT yang baik (100%).
·
Saya kira kami makin sadar bahwa kami dapat menghargai hasil kerja dengan
metode BKPI ini sehingga atasan dan orang lain bisa menilai hasil dan prestasi
kerja yang selama ini kami tak sadar
akan kelebihan yang kami miliki
masing-masing.
·
Kami sangat berterima kasih kepada Pimpinan dan Manajemen
Buccheri yang telah memberikan dukungan yang optimal kepada kami untuk belajar
melalui Program BKPI dari Care
Plus Indonesia.
·
Oleh sebab itu kami mendukung agar program ini dapat
dilanjutkan di Buccheri Group untuk tahapan berikutnya.
Terima kasih.
Jakarta, 29 Nopember 2012
Dibuat oleh Mengetahui,
(Natalie Sofia Lie) (Io
Rudianto)
Mgr. HRD Direktur
PT. BUCCHERI INDONESIA
Langganan:
Postingan (Atom)