Anak saya yang bungsu berusia 7 tahun sering bertanya dengan nada yang ingin supaya disetujui mutlak bila meminta sesuatu. Contohnya: "Pa, boleh Evan main game sekarang?" dan saya tahu kalau jawaban yang diharapkan adalah "ya!". Karena apabila saya jawab "Tidak" maka dia biasanya langsung pasang muka cemberut dan mulai ber"filsafat". Contohnya, "kok ngga sayang Evan", "Papa kok jawabnya marah sih?" dsb. Padahal siapa sih yang ngga sayang sama anak sendiri, juga masa sih sang anak yang marah malah dibilang Papanya yang marah karena bilang tidak sesuai dengan keinginannya. Wah, serba sulit mengerti juga ya kalau sang anak maunya di setujui terus permintaannya. Padahal kita juga yang ajarin dulu waktu masih kecil untuk mulai belajar meminta.
Sekarang saya kembali merenung, mengapa pasangan kita dan anak-anak kita cenderung lebih sensitif kepada orang yang terdekat. Sempat saya komplain kepada mereka (walau sebenarnya ini cuma kerinduan pribadi) kalau mereka lebih banyak suka-citanya kalau dalam lingkungan teman-temannya. Misalnya, kalau saya salah jalan, rasanya sindiran atau teguran dari isteri dan anak-anak lebih "to the point" deh. Padahal kalau dengan teman2nya saya pernah melihat sendiri mereka bisa mengucapkan sambil bercanda dan tidak mempersalahkan kesalahan seperti itu. Yang jelas ada sih rasa "iri" kalau anak saya menunggu temannya pulang sekolah untuk bermain di depan rumah, bertanya terus kepada saya kapan pulangnya sang teman tsb padahal saya di sebelahnya lho.
Kembali kepada anak saya, setelah saya diam dan tidak merespon atas "kemarahan"-nya, maka beberapa lama kemudian dia mulai mendekati saya lagi dan biasanya kami mulai bercanda kembali. Dan kejutan buat saya adalah dia memeluk saya dan mencium sambil mengatakan "I love you Papa". Setelah saya alami sendiri beberapa kali, maka saya mulai menyadari bahwa sikap terhadap "kemarahan" seseorang adalah dengan DIAM. Demikian pula ketika saya yang mulai marah apabila ada seseorang yang saya tegur tidak juga sadar akan ke-"tidak-suka"-an saya atas salah satu perilakunya, saya mulai memberikan juga waktu dan ruang jeda bagi kami berdua untuk merenungi.
Rasanya saya mulai menyadari kalau kita marah dan marah-marah perbedaannya adalah adanya waktu dan ruang jeda. Bagi marah yang positif, tentunya marah hanya pada saat tertentu dan selesai saat itu juga. Sedangkan marah-marah merupakan kebiasaan yang justeru semakin lama semakin tidak sehat karena intensitasnya bisa semakin liar.
Bagaimana marah itu berakibat jelek? Seperti contoh, ada seorang yang gila memukuli orang-orang di pasar. Kemudian gantian orang-orang di pasar memukuli orang gila tsb. Nah, jadi berapa sekarang orang gila di pasar? Tadinya cuma satu orang gila, sekarang mengapa bisa menjadi banyak?
Bagaimana marah bisa berakibat baik? Kita bisa lihat saat ini lebih banyak orang yang "marah" peduli dengan nasib bangsa kita dengan membaca berita-berita di koran Nasional saat ini. Begitu banyak berita yang menurut saya berimbang dan membuat rakyat menjadi cerdas dan memberikan masukan kepada Pemerintah untuk bisa lebih serius menangani segala penyimpangan. Mengapa saya menyebut hal ini sebagai marah yang berakibat baik? Salah satu alasan adalah dengan lebih transparan-nya media melaporkan tindakan penyelewengan dan korupsi maka semakin hati-hati seseorang berbisnis atau berdinas akhir-akhir ini. Salah satunya adalah seorang teman saya menceritakan bahwa kalau ada petugas pajak yang datang ke perusahaan, sekarang ini bahkan saat diberikan air minum pun sang petugas pajak tsb langsung menolak dengan sopan dengan mengatakan, bahwa dia sedang bertugas sebentar saja dan mengatakan kami sudah minum dan akan segera menyelesaikan tugasnya secepatnya.
Contoh lainnya, ketika kami melewati jalan tol Tgr-Jkt yang sangat mulus (saat tulisan ini dibuat bulan Agustus 2011) dan saya berujar bahwa kualitas jalan tol ini sudah seperti di luar negeri, anak saya menimpali bahwa ini gara-gara Nazarudin yang tertangkap. Isteri saya langsung terbahak bahwa anak-anak saja sudah mengerti kalau efek seseorang yang dipublikasikan karena perbuatan negatifnya maka akan membuat para pebisnis juga akan lebih cermat bekerja bukan? Karena itu dampak dari kemarahan rakyat sudah jelas dan pasti atas segala perilaku korupsi.
Kalau begitu Pemerintah seharusnya berterima-kasih kepada mereka yang marah terhadap penyelewengan karena tidak perlu didebat tetapi ini tanda rakyat masih sayang banget dengan Pemerintah bukan?
Akhir kata, kalau kita di"marah"in oleh orang lain, jangan cepat stress atau frustasi dulu atau balas memarahi dulu, tetapi jangan-jangan ini karena ada orang yang menyayangi kita bukan? Tentu saja bukti sayang bukan berarti harus marah ya.
(William Wiguna)
Bagaimana menginvestasikan Karakter Anda menjadi Aset SIKAP (Attitude) yang menguntungkan SEUMUR HIDUP? Menjual Tanpa Pernah Ditolak, Memimpin Dengan Otoritas, Menyelesaikan Konflik Menjadi Peluang dan Membuat Goal Setting, dengan KONSEP: Attitude Performance Indicator, Bimbingan Belajar dan "Money Back Guarantee" serta Free Lifetime Counseling.
Total Tayangan Halaman
Entri Populer
-
Setuju tidak setuju, adalah sebuah fakta bahwa pola pikir kita sangat menetukan cara kerja kita. Ketika masih duduk di bangku TK, kita...
-
MENGENAL TEKNIS dan NON-TEKNIS DALAM KESEIMBANGAN HIDUP Beberapa pertanyaan atau perdebatan cukup menarik ...
-
Widi Keswianto SE,MM,AFP,FChFP " Kita adalah Karunia Ciptaan Tuhan yang Luar Biasa yang sebenarnya berteknologi tinggi & memiliki...
-
Tweet Sepotong lagu yang selalu populer saat kita masih balita dan dipopulerkan langsung oleh orang tua atau orang terdekat kita saa...
Senin, 22 Agustus 2011
Senin, 15 Agustus 2011
"Mengapa Seseorang Membeli Mobil Mahal?"
Begitulah pertanyaan anak saya yang ABG saat kami jalan sehat di pagi hari ybl. Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja ketika Nathanael melihat sebuah mobil Taksi yang masih baru dan mulus melewati kami. Kemudian dia melanjutkan, "Apakah ngga rugi ya beli mobil mahal2?".
Saya berharap disinilah awal diskusi yang sehat untuk dimulai. Saya mencoba berhitung dengan anak saya untuk membeli sebuah mobil katakanlah seharga Rp. 200 juta, dan kemudian setelah 2 tahun dijual dengan harga Rp. 100 juta, sehingga bisa dikatakan seperti anak saya tadi bahwa pasti rugi, yaitu Rp. 100 juta.
Karena minat anak saya bertambah, maka saya coba bantu hitung secara kasar, bahwa selama 2 tahun merugi Rp.100 juta itu berarti sekitar Rp. 140 rib/hari. Nah, saya katakan bahwa kalau mobil dibeli dan tidak dipakai maka sekitar itulah kerugiannya. Kemudian saya ajak dia berpikir, kalau seorang sopir Taksi menggunakan mobil tersebut dan mendapatkan penghasilan rata2 Rp. 400 ribu/hari, maka dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 260 ribu/hari, atau sekitar Rp. 180 juta dan bukan rugi Rp. 100 juta dalam 2 tahun tersebut. Sampai disini anak saya langsung kaget dan bertanya "wah berarti tidak rugi dong membeli mobil ya?".
Begitulah akhirnya anak saya mulai menyadari bahwa sebenarnya tubuh dan jiwa kita pun seperti sebuah kendaraan yang diberikan oleh Tuhan untuk kita gunakan. Ada yang menggunakan untuk kegiatan sehingga bisa memberikan hidup bagi orang lain dan ternyata masih ada juga yang hidup tetapi bahkan untuk makan sendiri saja kesulitan. Memang agak susah memahami bahwa saat sekarang ini dengan jumlah waktu yang sama 24 jam dan kondisi fisik yang relatif sama, ternyata output dari seseorang bisa berbeda2, untuk anak seusia Nathanael.
Saat ini anak saya memang masih berumur 13 tahun, tetapi mulai belajar menepati jadwal belajar dan bermain sesuai waktu yang tersedia, tetapi pada pagi itu saya menyadari bahwa dia sedang mendapat kesempatan untuk bisa lebih mengerti bagaimana orang lain menghargai segala suatu pemberian, termasuk pemberian melalui orang tua, pekerjaan dan sebagainya. Kebetulan kami juga pernah mendapatkan kesempatan ketika ada anak kecil yang sedang mengamen di perempatan Cideng, dan kami berikan uang Rp. 10 ribu, dia bisa melihat sendiri bahwa sang anak tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan ini merupakan kesempatan yang langka saat kami bisa menyaksikan sendiri bahwa betapa kita sering lupa berterima-kasih atau kadar bersyukur yang berbeda kalau hidup kita selalu tercukupi dibandingkan saat kita sedang membutuhkan sesuap nasi atau seteguk air minum.
Demikian saya pagi itu saat berjalan sehat dan bersama anak kembali menemukan cara pikir yang sederhana untuk menentukan bagaimana menjelaskan mahal atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan cara kita menghargai dengan sebanyak apa bisa kita berikan manfaat sesuatu bagi orang lain dan bila kita harus mengalami kesusahan supaya kita bisa lebih diingatkan betapa bersyukurnya kita masih bisa hidup.
Orang bijak bilang kalau masih sulit merasa bersyukur, walau sedang menerima cobaan, coba hitung berkat2 yang telah kita terima dari 0 tahun sd sekarang... Saya pernah coba dan hasil hitungannya selesai baru pada keesokan harinya dimana saya selesai bangun dengan segar, seperti halnya pada pagi hari ini. Terima kasih Tuhan atas setiap kesulitan dan berkat yang kami terima...
William Wiguna (45) refleksi bersama Nathanael Wiguna (13)
Saya berharap disinilah awal diskusi yang sehat untuk dimulai. Saya mencoba berhitung dengan anak saya untuk membeli sebuah mobil katakanlah seharga Rp. 200 juta, dan kemudian setelah 2 tahun dijual dengan harga Rp. 100 juta, sehingga bisa dikatakan seperti anak saya tadi bahwa pasti rugi, yaitu Rp. 100 juta.
Karena minat anak saya bertambah, maka saya coba bantu hitung secara kasar, bahwa selama 2 tahun merugi Rp.100 juta itu berarti sekitar Rp. 140 rib/hari. Nah, saya katakan bahwa kalau mobil dibeli dan tidak dipakai maka sekitar itulah kerugiannya. Kemudian saya ajak dia berpikir, kalau seorang sopir Taksi menggunakan mobil tersebut dan mendapatkan penghasilan rata2 Rp. 400 ribu/hari, maka dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 260 ribu/hari, atau sekitar Rp. 180 juta dan bukan rugi Rp. 100 juta dalam 2 tahun tersebut. Sampai disini anak saya langsung kaget dan bertanya "wah berarti tidak rugi dong membeli mobil ya?".
Begitulah akhirnya anak saya mulai menyadari bahwa sebenarnya tubuh dan jiwa kita pun seperti sebuah kendaraan yang diberikan oleh Tuhan untuk kita gunakan. Ada yang menggunakan untuk kegiatan sehingga bisa memberikan hidup bagi orang lain dan ternyata masih ada juga yang hidup tetapi bahkan untuk makan sendiri saja kesulitan. Memang agak susah memahami bahwa saat sekarang ini dengan jumlah waktu yang sama 24 jam dan kondisi fisik yang relatif sama, ternyata output dari seseorang bisa berbeda2, untuk anak seusia Nathanael.
Saat ini anak saya memang masih berumur 13 tahun, tetapi mulai belajar menepati jadwal belajar dan bermain sesuai waktu yang tersedia, tetapi pada pagi itu saya menyadari bahwa dia sedang mendapat kesempatan untuk bisa lebih mengerti bagaimana orang lain menghargai segala suatu pemberian, termasuk pemberian melalui orang tua, pekerjaan dan sebagainya. Kebetulan kami juga pernah mendapatkan kesempatan ketika ada anak kecil yang sedang mengamen di perempatan Cideng, dan kami berikan uang Rp. 10 ribu, dia bisa melihat sendiri bahwa sang anak tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan ini merupakan kesempatan yang langka saat kami bisa menyaksikan sendiri bahwa betapa kita sering lupa berterima-kasih atau kadar bersyukur yang berbeda kalau hidup kita selalu tercukupi dibandingkan saat kita sedang membutuhkan sesuap nasi atau seteguk air minum.
Demikian saya pagi itu saat berjalan sehat dan bersama anak kembali menemukan cara pikir yang sederhana untuk menentukan bagaimana menjelaskan mahal atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan cara kita menghargai dengan sebanyak apa bisa kita berikan manfaat sesuatu bagi orang lain dan bila kita harus mengalami kesusahan supaya kita bisa lebih diingatkan betapa bersyukurnya kita masih bisa hidup.
Orang bijak bilang kalau masih sulit merasa bersyukur, walau sedang menerima cobaan, coba hitung berkat2 yang telah kita terima dari 0 tahun sd sekarang... Saya pernah coba dan hasil hitungannya selesai baru pada keesokan harinya dimana saya selesai bangun dengan segar, seperti halnya pada pagi hari ini. Terima kasih Tuhan atas setiap kesulitan dan berkat yang kami terima...
William Wiguna (45) refleksi bersama Nathanael Wiguna (13)
Langganan:
Postingan (Atom)