Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Senin, 22 Desember 2008

Pertarungan Terakhir Sang Pendekar Nomor Wahid

by Dadang Kadarusman

Kita tentu masih ingat tentang ilmu padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Semakin seseorang bertambah ilmunya, semakinlah dia menyadari betapa dia mesti lebih banyak menundukkan kepalanya. Sehingga matanya tidak tertuju keatas untuk mendongak. Melainkan melihat kebawah kearah hati. Mungkin itu pula sebabnya kita mengenal istilah ‘rendah hati’. Tentu, rendah hati itu tidak sama dengan rendah diri. Sebab, rendah diri membawa kita kepada sikap inferior. Sedangkan sifat rendah hati menjadikan kita orang yang yakin kepada kemampuan diri tanpa harus membusungkan dada. Atau sekedar merasa diri lebih hebat dari orang lain. Kita kemudian berkata; “Apa salahnya orang hebat seperti gue membangga-banggakan diri?” Apalagi jika kehebatan dan kesuksesan kita ini, dihasilkan dari ‘jerih payah sendiri’. Tidak salah. Namun, padi tidaklah bersikap demikian.

Dulu. Ketika keunggulan manusia diukur oleh kemampuannya memainkan pedang. Orang-orang hebat saling berlomba untuk menjadi pendekar nomor wahid. Sehingga, mereka berlatih tanpa henti dengan tujuan utama; mengalahkan pemegang gelar ‘pendekar nomor wahid’ yang ada. Dan merebut gelar itu. Mereka tidak keberatan jika harus bertarung hingga mati.

Pada suatu ketika, kesaktian sang pendekar nomor wahid sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Sehingga, tidak ada lagi orang yang berani menantangnya. Lama-lama, dia merasa bosan sendiri. Tak ada lagi pertarungan. Tak ada lagi kemenangan. Dan akhirnya, tidak ada lagi nilai dari gelar yang selama ini dibangga-banggakannya. Lalu, hati kecilnya berbisik; “Benarkah aku ini seorang pendekar nomor wahid?” Mengingat tak ada lagi yang berani menantangnya, seharusnya tak seorangpun meragukannya. Tetapi, hati kecilnya kembali berbisik; “Bagaimana seandainya dibelahan dunia lain ada orang yang lebih sakti. Apakah aku layak menyandang gelar ini?”

Kegelisahan itu membawanya kepada pengembaraan yang teramat panjang. Dia melintasi bukit. Menyeberang lautan. Menjelajah padang pasir yang gersang. Semuanya hanya untuk mendatangi orang-orang sakti dan mengalahkannya satu demi satu. Akhirnya, sampailah dia disebuah perguruan terakhir untuk ditaklukan. Jika dia berhasil mengalahkan orang paling sakti diperguruan itu, maka dia berhak menyandang gelar pendekar nomor wahid secara mutlak.

“Siapakah orang paling sakti diperguruan ini?” hardiknya, sesaat setelah dia mendobrak pintu gerbang. Dengan sekali tendang.

”Disini tidak ada orang yang seperti itu, Tuan” jawab orang-orang itu.
“Perguruan macam apa ini?” sergahnya. “Masa, tidak ada orang yang paling sakti disini!” sang pendekar nomor wahid kembali menghardik. “Memangnya apa yang kalian pelajari selama ini dengan pedang, tombak, dan toya itu.?”

“Disini,” jawab para murid. “Kami belajar tentang kerendahan hati,” katanya dengan serempak.

Sang pendekar nomor wahid terlihat gusar dengan omong kosong itu. Tidak ada perguruan yang mengajarkan kesia-siaan semacam itu. Kesaktian. Kehebatan. Dan kekuatanlah yang seharusnya diajarkan. Karena, hanya dengan cara itu kemuliaan seseorang ditentukan. Orang-orang saktilah yang kedudukannya tinggi. Orang-orang hebatlah, yang pantas dihargai. Orang-orang kuatlah yang layak ditakuti dan dihormati. “Antarkan aku kepada guru kalian,” pintanya.

Orang-orang diperguruan itu saling pandang. Lalu berkata; “Tuan sudah berada dihadapan guru kami,”.

Sang pendekar kebingungan; “Apa maksud kalian?” katanya.

“Disini,” jawab para murid. “Kami menjadi guru untuk orang lain.” Mereka diam sejenak. “Sekaligus menjadi murid bagi mereka.” Lanjutnya serempak.

Sekarang sang pendekar mulai mengerti bahwa diperguruan itu, setiap orang diperlakukan sebagai guru. Karena setiap orang ditempat itu mengajari orang lain tentang apa saja yang diketahuinya. Para ahli pedang mengajarkan pedang. Para ahli panah, mengajari cara memanah. Para ahli tombak, membuka rahasia tentang permaian tombak.

Sang pendekar nomor wahid itu juga mengerti. Bahwa diperguruan itu setiap orang menempatkan dirinya sendiri sebagai murid. Sehingga tidak peduli kesaktian dirinya setinggi apa; mereka bersedia untuk belajar dari orang lain tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Para ahli pedang belajar bagaimana melempar tombak. Para jago toya belajar tentang cara memegang busur panah. Jadi, siapakah gerangan yang pantas menyandang gelar sebagai ‘orang yang paling sakti’ itu?

Sang pendekar nomor wahid tertegun. Dia menatap satu persatu wajah demi wajah yang ada dihadapannya. Menanyakan nama-nama mereka. Dan mengingat-ingat apa yang dikenang orang tentang nama-nama itu. Betapa terkejutnya dia, ketika menyadari bahwa mereka adalah nama-nama yang sangat harum mewangi didunia kependekaran. Merekalah legenda-legenda kesaktian. Namun, betapa terharu kalbunya ketika mengetahui bahwa; “bahkan orang-orang sekualitas merekapun tidak saling belomba untuk memperebutkan gelar terhormat itu.” Oh, inikah rupanya yang diajarkan oleh keredahan hati. Mereka merunduk. Ketika isi dan kualitas dirinya semakin meninggi. Mereka tambah merendah. Disaat pencapaian mereka menanjak dan mengangkasa. Seperti sang padi. Semakin merunduk. Ketika butir bulirnya semakin berisi.


Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar