Worthed or Worried?
Saat saya selesai deal dengan menawarkan gadget bekas saya ke pembeli sd 50% dari harga pasar, anak saya dengan kritis bertanya “Papa jual barang kok murah amat? Mending ngga usah beli kalau tahu jual barang rugi seperti itu Pa?”
Pertanyaan yang langsung kena seperti ini ternyata membuat saya harus berpikir 2 kali untuk bisa menjelaskannya. Mengapa? Karena saat ini begitu cepatnya teknologi sehingga perlengkapan gadget elektronik saya begitu cepat terasa kuno, walaupun saya sebenarnya termasuk jarang untuk mengganti gadget seperti Notebook, Smart HP, HP, Digital Camera dan GPS.
Saya mencoba menjelaskannya dari sisi pola pikir seorang anak yang mulai dewasa. Saya menerangkan bahwa untuk membeli sesuatu, dipastikan harus ada seseorang yang mampu menghitung seberapa keuntungan yang bisa kita peroleh. Dan itu tidak berarti selalu bernilai langsung ke uang. Sebagai contoh, saya bertanya kepada anak saya yang saat ini berusia 13 tahun, “Nate, kamu sudah berapa banyak Mama belikan mainan Hot Wheels”, karena hobi dia dari kecil adalah selalu meminta beli mobil Hot Wheels. “banyak sekali Pa” jawabnya. Kemudian saya sampaikan betapa orang tua sangat mengasihi anak sehingga mainan-mainan bisa menjadi bukti paling nyata untuk anaknya mulai mengerti apa pemberian orang tuanya. Kalau sudah cukup banyak, maka sang anak rupanya sudah tidak sempat lagi memainkannya dan kelihatannya Nate baru sadar kalau begitu banyak mainan yang sudah tidak dipakai lagi atau jarang dia mainkan lagi. “Apakah Papa dan Mama merasa rugi membelikan mainan yang saat ini banyak tersimpan di beberapa tempat rumah dan tidak lagi dipakai, bahkan sangat mungkin tidak laku kalau dijual satu per satu”. “Sekarang pun sebenarnya masih terus berlangsung para orang tua membelikan anak-anaknya kebutuhan “main” yang berupa percobaan robot, praktek elektronik dsb dari sekolah atau teman-temannya”.
Anak saya rasanya mulai mengerti dan mengangguk kalau sebenarnya ada nilai keuntungan yang belum pernah terpikirkan bahwa kami para orang tua berani memberikan semua jenis “tools” termasuk perlengkapan kerja atau mainan agar sang anak semakin berkembang otaknya dan sekaligus mengembangkan karakter utamanya menjadi sikap yang positif terhadap pemberian dan pemeliharaan barang-barang yang telah diberikan.
Sangat menarik, karena saya sendiri dulu hanya bersikap otomatis kalau sang anak meminta mainan, kami sebagai orang tua hanya merasakan sebagian besar adalah kewajiban. Akan tetapi dalam setiap kelas dari tahun 2005 yang kami ajarkan soal Karakter dan Sikap, maka betapa mengejutkan bahwa permainan pengenalan akan bentuk tidak lagi diajarkan atau dilanjutkan di sekolah-sekolah mulai dari SD dst. Sebagai contoh, Anda silahkan tanya kepada karyawan Anda pertanyaan sbb:
“Kalau besok ada tamu dari 5 negara yang berbeda-beda, dan kamu ditugaskan untuk meminta mereka duduk, apa yang kamu perlu belajar? Hampir selalu sang karyawan akan menjawab mereka butuh belajar BAHASA dan WAKTU yang lumayan lama.... Padahal besok kebutuhan kita.
Menurut Anda apa yang seharusnya mereka berikan?”
Kalau Anda juga kesulitan membantu sang karyawan, maka mungkin kita perlu bekerja sama untuk melanjutkan permainan bentuk yang sebenarnya sudah ditanamkan saat kita TK atau Taman Bermain. Ini bukan bercanda atau menghina bagi Anda yang sudah kuliah sd S3 lho.
Kami bahkan menyediakan sd 5 role play seperti itu yang ternyata langsung bisa membuat para karyawan atau team menyadari betapa pentingnya membaca atau mengenal bentuk sesuatu dan seseorang.
Kembali kepada Nate yang sekarang kembali bertanya, “...berarti saat Papa menjual gadget sebenarnya bukan karena harga yang murah dong ya, tetapi manfaat yang telah Papa ambil sudah jauh lebih besar dari pada nilai awal kita beli dan sekarang pun kalau dijual, maka itu sebagai bonus dan karena harganya murah kita bisa mengajarkan kepada mereka yang mau belajar gadget dengan biaya lebih murah.”
Semoga refleksi singkat ini bisa membuat kita lebih mengerti mengambil manfaat dari setiap benda dan waktu yang telah diberikan kepada kita. Btw, satu pertanyaan lagi muncul, menurut Anda kalau kita percaya Tuhan YME yang menciptakan diri kita, apakah juga telah mendapatkan keuntungan dengan masih hidupnya diri kita di dunia/lingkungan kita saat ini ya?
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Bagaimana menginvestasikan Karakter Anda menjadi Aset SIKAP (Attitude) yang menguntungkan SEUMUR HIDUP? Menjual Tanpa Pernah Ditolak, Memimpin Dengan Otoritas, Menyelesaikan Konflik Menjadi Peluang dan Membuat Goal Setting, dengan KONSEP: Attitude Performance Indicator, Bimbingan Belajar dan "Money Back Guarantee" serta Free Lifetime Counseling.
Total Tayangan Halaman
Entri Populer
-
Setuju tidak setuju, adalah sebuah fakta bahwa pola pikir kita sangat menetukan cara kerja kita. Ketika masih duduk di bangku TK, kita...
-
MENGENAL TEKNIS dan NON-TEKNIS DALAM KESEIMBANGAN HIDUP Beberapa pertanyaan atau perdebatan cukup menarik ...
-
Widi Keswianto SE,MM,AFP,FChFP " Kita adalah Karunia Ciptaan Tuhan yang Luar Biasa yang sebenarnya berteknologi tinggi & memiliki...
-
Tweet Sepotong lagu yang selalu populer saat kita masih balita dan dipopulerkan langsung oleh orang tua atau orang terdekat kita saa...
Selasa, 29 November 2011
Kamis, 24 November 2011
Senin, 21 November 2011
Meng"harga"i Kelemahan
Meng”harga”i Kelemahan
Sangat sulit bahkan tersembunyi buat kita yang menterjemahkan secara teori apa itu "menghargai kelemahan". Bahkan kita cenderung menghindari dan sangat jengkel bila seseorang mengungkit2 kelemahan diri kita. Sebaliknya kalau kita membicarakan kelemahan orang lain atau bisa juga meng-gosip-kan orang lain betapa kita cenderung mau tahu dan rasanya kita jadi tampak "lebih suci" dari orang tersebut.
Mengapa kita memiliki kecenderungan seperti ini?
Mungkin dengan sebuah cerita bisa kita lebih mengerti kondisi tersebut:
Di dalam sebuah pesta, ada sekelompok Ibu2 sedang ber-gosip ria, dan tepat ketika itu ada seorang Ibu lain yang melewati kelompok ini. Seorang Ibu katakanlah si Polan, yang sedang asyik berbicara langsung melongo dan berkomentar tentang Ibu yang baru lewat tsb, “tuh, lihat sombong sekali wanita itu. Mentang2 kaya pakai anting berlian sebesar itu? Mau pamer sama siapa sih? Dasar sombong sekali ya tuh?”. Dan teman-temannya seperti dikomando langsung bersetuju-ria dan lanjut mendiskusikan serta bergosip ke”sombong”an sang Ibu ber-anting berlian yang sudah jauh melewati mereka.
Sekarang, menurut Anda siapakah sang Ibu yang sombong sebenarnya? Sangat mudah sekali bukan melihat bahwa dia yang melontarkan justeru dialah yang menunjukkan dirinya sebagai seorang yang sombong. Sebagaimana kita mengukur orang lain demikianlah diri kita diukur.
Mungkin Anda akan segera berkilah, “wah kalau aku yang disitu sih ngga bakalan terpancing dan akan cuekin tuh si Polan atau sang Ibu ber-anting berlian” atau “saya pasti akan tegur si Polan” serta mungkin “ngapain sih ngomongin orang lain...”. Mungkin juga Anda sesudah membaca cerita tadi dan langsung bisa melihat situasi dengan obyektif. Akan tetapi saat Anda yang di situasi yang mungkin mirip seperti itu ketika berdiskusi soal pimpinan yang hobi menyanyi di mana2, anggota DPR yang berani pamer mobil bernilai milyar-an, soal kekayaan pejabat dsb, apakah Anda bisa merasa lebih obyektif seperti merespon cerita si Polan tadi? Atau ikutan menjadi hakim atau cuma mem”bumbu”i-nya?
Amat sangat baik bila kita sendiri sebenarnya bisa melakukan hal yang sama ketika melihat kelemahan orang lain, sebenarnya itulah cermin kelemahan yang ada pada diri kita sendiri. Konyolnya, kita sendiri yang melakukan pengakuan di depan orang terdekat dengan diri kita karena merasa semakin leluasa. Sebagai ilustrasi adalah sbb: ada seorang suami yang disindir terus tiap hari oleh sang isteri bahwa tiap pagi sang istri tetangga selalu dicium mesra oleh suaminya sebelum berangkat kerja. Tanpa sadar sang suami langsung menjawab, “... saya juga mau banget cium si isteri tetangga tsb tiap hari tapi takut dia ngga mau...” Apa kira-kira reaksi sang isteri setelah tahu apa yang ada di pikiran sang suami?
Terlalu banyak teori atau “gajah depan mata tidak kelihatan, semut di seberang lautan terlihat” atau “balok depan mata tidak tampak, debu di mata orang tampak”, yang terjadi dan bisa kita menertawakan diri sendiri. Saya sendiri masih berjuang contohnya, sering bisa ingatkan anak saya untuk selalu disiplin kalau sedang main game, tetapi kalau sedang asyik main game sama saja rupanya. Karena baik isteri maupun anak juga ribut kalau saya lagi asyik dan diajak bicara tidak pernah bisa konsentrasi.
Dengan tiga ilustrasi di atas kita sudah bisa melihat apa yang disebut kelemahan bukan? Kelemahan itu tidak akan pernah disadari oleh ybs walaupun dikasih tahu oleh orang yang terdekat dengan diri kita. Mungkin juga dengan diri kita sendiri lho! yaitu bila kita sendiri tidak bisa menerima atau tidak bisa ikhlas (http://www.youtube.com/watch?v=uhrZN3mHeww). Cara kita membela diri bahkan dilengkapi dengan kambing hitam, adalah cara kuno kita untuk meng-“harga”i kelemahan diri kita yang tentu saja sangat tidak tepat bukan? Lebih tepatnya kita bisa ber”cermin” bukan dengan orang lain tetapi ber”cermin”-lah dengan diri kita (http://www.youtube.com/watch?v=ql_FdvD5nNs&feature=related).
Menghargai kelemahan dengan lebih baik bisa dimulai juga dengan menonton film ini (http://www.youtube.com/watch?edit=vd&v=NgmnE-nBpjk) yaitu cerita tentang kesaksian seorang isteri yang memberikan kata-kata kenangan terakhir saat pemakaman sang suami. Kelemahan sang suami seperti suka ngorok dan kentut saat tidur dulunya sangat mengganggu, tetapi sang isteri bisa cepat memahami kalau justeru saat sang suami saat sakit keras, bahwa ngorok dan kentut adalah tanda sang suami masih bertahan hidup. Demikianlah saat sungguh-sungguh sang suami sudah tiada, sang isteri bisa testimoni bahwa (maaf) ngorok dan kentut adalah “beautifully imperfection that make perfect”.
Sekarang kembali kepada kita, bagaimana kita bisa mengenali dan men”siasati” kelemahan tersebut? Memang perlu waktu dan teman seumur hidup untuk seutuhnya kita “tahu diri” dan akhirnya bisa bilang, Terima Kasih Tuhan karena telah Engkau ijinkan untuk memakai pasangan, keluarga dan teman-teman membuat saya semakin wangi di dalam perjalanan kembali kepada YME...
Perlu teman untuk berdiskusi seumur-hidup soal “kelemahan” (IMPERFECTION) yang bisa menjadi KEKUATAN KITA (PERFECTION in OUR LIFE)? Join atau hubungi kami di www.careplusindonesia.com atau di FB GROUP: https://www.facebook.com/groups/careplusindonesia/
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Sangat sulit bahkan tersembunyi buat kita yang menterjemahkan secara teori apa itu "menghargai kelemahan". Bahkan kita cenderung menghindari dan sangat jengkel bila seseorang mengungkit2 kelemahan diri kita. Sebaliknya kalau kita membicarakan kelemahan orang lain atau bisa juga meng-gosip-kan orang lain betapa kita cenderung mau tahu dan rasanya kita jadi tampak "lebih suci" dari orang tersebut.
Mengapa kita memiliki kecenderungan seperti ini?
Mungkin dengan sebuah cerita bisa kita lebih mengerti kondisi tersebut:
Di dalam sebuah pesta, ada sekelompok Ibu2 sedang ber-gosip ria, dan tepat ketika itu ada seorang Ibu lain yang melewati kelompok ini. Seorang Ibu katakanlah si Polan, yang sedang asyik berbicara langsung melongo dan berkomentar tentang Ibu yang baru lewat tsb, “tuh, lihat sombong sekali wanita itu. Mentang2 kaya pakai anting berlian sebesar itu? Mau pamer sama siapa sih? Dasar sombong sekali ya tuh?”. Dan teman-temannya seperti dikomando langsung bersetuju-ria dan lanjut mendiskusikan serta bergosip ke”sombong”an sang Ibu ber-anting berlian yang sudah jauh melewati mereka.
Sekarang, menurut Anda siapakah sang Ibu yang sombong sebenarnya? Sangat mudah sekali bukan melihat bahwa dia yang melontarkan justeru dialah yang menunjukkan dirinya sebagai seorang yang sombong. Sebagaimana kita mengukur orang lain demikianlah diri kita diukur.
Mungkin Anda akan segera berkilah, “wah kalau aku yang disitu sih ngga bakalan terpancing dan akan cuekin tuh si Polan atau sang Ibu ber-anting berlian” atau “saya pasti akan tegur si Polan” serta mungkin “ngapain sih ngomongin orang lain...”. Mungkin juga Anda sesudah membaca cerita tadi dan langsung bisa melihat situasi dengan obyektif. Akan tetapi saat Anda yang di situasi yang mungkin mirip seperti itu ketika berdiskusi soal pimpinan yang hobi menyanyi di mana2, anggota DPR yang berani pamer mobil bernilai milyar-an, soal kekayaan pejabat dsb, apakah Anda bisa merasa lebih obyektif seperti merespon cerita si Polan tadi? Atau ikutan menjadi hakim atau cuma mem”bumbu”i-nya?
Amat sangat baik bila kita sendiri sebenarnya bisa melakukan hal yang sama ketika melihat kelemahan orang lain, sebenarnya itulah cermin kelemahan yang ada pada diri kita sendiri. Konyolnya, kita sendiri yang melakukan pengakuan di depan orang terdekat dengan diri kita karena merasa semakin leluasa. Sebagai ilustrasi adalah sbb: ada seorang suami yang disindir terus tiap hari oleh sang isteri bahwa tiap pagi sang istri tetangga selalu dicium mesra oleh suaminya sebelum berangkat kerja. Tanpa sadar sang suami langsung menjawab, “... saya juga mau banget cium si isteri tetangga tsb tiap hari tapi takut dia ngga mau...” Apa kira-kira reaksi sang isteri setelah tahu apa yang ada di pikiran sang suami?
Terlalu banyak teori atau “gajah depan mata tidak kelihatan, semut di seberang lautan terlihat” atau “balok depan mata tidak tampak, debu di mata orang tampak”, yang terjadi dan bisa kita menertawakan diri sendiri. Saya sendiri masih berjuang contohnya, sering bisa ingatkan anak saya untuk selalu disiplin kalau sedang main game, tetapi kalau sedang asyik main game sama saja rupanya. Karena baik isteri maupun anak juga ribut kalau saya lagi asyik dan diajak bicara tidak pernah bisa konsentrasi.
Dengan tiga ilustrasi di atas kita sudah bisa melihat apa yang disebut kelemahan bukan? Kelemahan itu tidak akan pernah disadari oleh ybs walaupun dikasih tahu oleh orang yang terdekat dengan diri kita. Mungkin juga dengan diri kita sendiri lho! yaitu bila kita sendiri tidak bisa menerima atau tidak bisa ikhlas (http://www.youtube.com/watch?v=uhrZN3mHeww). Cara kita membela diri bahkan dilengkapi dengan kambing hitam, adalah cara kuno kita untuk meng-“harga”i kelemahan diri kita yang tentu saja sangat tidak tepat bukan? Lebih tepatnya kita bisa ber”cermin” bukan dengan orang lain tetapi ber”cermin”-lah dengan diri kita (http://www.youtube.com/watch?v=ql_FdvD5nNs&feature=related).
Menghargai kelemahan dengan lebih baik bisa dimulai juga dengan menonton film ini (http://www.youtube.com/watch?edit=vd&v=NgmnE-nBpjk) yaitu cerita tentang kesaksian seorang isteri yang memberikan kata-kata kenangan terakhir saat pemakaman sang suami. Kelemahan sang suami seperti suka ngorok dan kentut saat tidur dulunya sangat mengganggu, tetapi sang isteri bisa cepat memahami kalau justeru saat sang suami saat sakit keras, bahwa ngorok dan kentut adalah tanda sang suami masih bertahan hidup. Demikianlah saat sungguh-sungguh sang suami sudah tiada, sang isteri bisa testimoni bahwa (maaf) ngorok dan kentut adalah “beautifully imperfection that make perfect”.
Sekarang kembali kepada kita, bagaimana kita bisa mengenali dan men”siasati” kelemahan tersebut? Memang perlu waktu dan teman seumur hidup untuk seutuhnya kita “tahu diri” dan akhirnya bisa bilang, Terima Kasih Tuhan karena telah Engkau ijinkan untuk memakai pasangan, keluarga dan teman-teman membuat saya semakin wangi di dalam perjalanan kembali kepada YME...
Perlu teman untuk berdiskusi seumur-hidup soal “kelemahan” (IMPERFECTION) yang bisa menjadi KEKUATAN KITA (PERFECTION in OUR LIFE)? Join atau hubungi kami di www.careplusindonesia.com atau di FB GROUP: https://www.facebook.com/groups/careplusindonesia/
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Senin, 14 November 2011
Behavioral Key Performance Indicator
Meningkatkan Kinerja Individu dan Organisasi
dengan Manajemen Perilaku
Hotel Aston Primera Pasteur Bandung
Sabtu, 26 November 2011
Pukul 08.00 – 17.00 WIB
Mengapa Anda sebaiknya ikut training ini?
Problem yang ingin dipecahkan:
1. Perusahaan Anda sudah memiliki visi, misi, dan sasaran yang jelas namun terbentur dalam
pelaksanaannya.
2. Tim Anda masih belum memenuhi standar kompetensi dan kinerja yang dibutuhkan.
3. Strategi yang telah Anda rancang menjadi tumpul, tidak jalan.
4. Eksekusi program kerja sangat lemah dan berjalan lambat.
5. Struktur organisasi Anda tidak efisien atau “terlalu gemuk”.
6. Produktifitas karyawan terus menerus turun.
Untuk mengatasinya, Anda (sebagai atasan) mengalami salah satu atau beberapa masalah berikut:
1. Kesulitan menyusun Job Description yang benar.
2. Sering melakukan kesalahan dalam proses rekrutmen karena judgmental error.
3. Kesulitan menilai prestasi kerja karyawan/penilaian kinerja.
4. Kesulitan dalam menyusun struktur gaji & benefit berdasarkan kinerja/prestasi.
5. Kesulitan dalam melakukan pengukuran kepuasan kerja karyawan.
6. Tidak memiliki TOOLS yang akurat untuk melakukan assesment dan penilaian kinerja.
Mengapa menggunakan Behavioral Key Performance Indicator?
1. Perubahan kinerja seseorang dimulai dari perubahan perilaku.
2. Manusia tidak bisa diubah, tapi perilaku manusia bisa diubah.
3. Perilaku manusia bisa diukur dan bisa dibandingkan.
4. Melakukan assessment berdasarkan perilaku memiliki akurasi yang tinggi.
5. Karena bisa diukur dan akurasinya tinggi, perilaku bisa dimanage.
6. Tingkat keberhasilan dengan BKPI atau API (Attitude Performance Indicator) hampir 100% untuk semua level.
Materi Pembahasan
Dalam training ini Anda akan mempelajari:
1. Bagaimana menguji Job Description “Copy Paste” VS Integrated Job Description.
2. Bagaimana melakukan rekrutmen dengan metode Manajemen Perilaku.
3. Bagaimana membuat Job Profile dengan Manajemen Perilaku.
4. Bagaimana menyusun KPI Rapor Prestasi secara Harian, Mingguan dan Bulanan.
5. Bagaimana mengelola Prestasi Tim, bukan One Man Show yang sibuk sendiri.
Metode Pelatihan
80% praktek, aplikasi dan role play.
Speaker
Ir. William Wiguna
Founder Care Plus Indonesia®, a behavior team work building network. Partner Quantum
Quality International®
IPB Graduation, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Angkatan 22 ‐1985
International Certified Professional Human Resource (CPHR)
International Certified Behavior Analyst (CBA) dan Authorized Reseller DISCovery®
DISC Report System dengan validitas Internasional (USA, UK, Singapore & Indonesia)
International Certified Performance Improvement (CPI)
Professional in Behavioral Styles Management selama lebih dari 20 tahun.
Narasumber Solusi Bisnis Radio Heartline FM 100.6 (setiap Senin pertama dan
ketiga jam 17.00‐18.00)
Pengasuh Rubrik Konsultasi Bisnis Tabloid Wanita Indonesia
Coach khususnya di bidang Manajemen Perilaku Team SDM, Marketing dan Sales
dengan JAMINAN KONSULTASI PRIBADI SEUMUR HIDUP® pertama di INDONESIA
dengan total Client lebih dari 20.000 peserta.
Investasi
Normal: Rp 1.750.000/orang.
Untuk Early Bird (lunas sampai dengan paling lambat Senin, 14 November
2011) hanya Rp. 1.500.000/orang.
Bonus
Bebas konseling dan konsultasi program seumur hidup setelah kelas selesai.
Menggunakan 3‐7 jenis tools yang valid dan bergaransi seumur hidup.
Lokasi
Aston Primera Pasteur Hotel and Conference Center
Jl. Dr. Djunjunan 96, Pasteur
Bandung ‐ Indonesia
Tanggal & Waktu
Hari Sabtu, 26 November 2011 pukul 08.30 – 17.00 WIB
Cara Melakukan Registrasi
1. Isi formulir online yang kami sediakan di website: http://bit.ly/ov5F8v
2. Lakukan Pembayaran ke salah satu rekening di atas
3. Lakukan konfirmasi pembayaran melalui telepon atau sms ke 022‐92888777.
Informasi & Registrasi
PT. SANDILOKA
Komplek Dai Chi Kavling 47 – Antapani, Bandung, 40291
Hari Kerja: Senin – Jumat, pukul 08:00 – 17:00 WIB
Telepon: 022‐7104067
SMS: 022‐92888777, 0859‐59‐868242 (VOUCHA)
Email: event@voucha.co.id
Web: http://event.voucha.net
Mailinglist
Jika Anda tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, berdiskusi dan berinteraksi dengan para pengusaha
server pulsa dari seluruh Indonesia, silakan bergabung ke mailinglist kami.
Untuk bergabung via email, kirim email kosong ke voucha‐subscribe@googlegroups.com
Untuk bergabung via web, silakan kunjungi halaman http://groups.google.com/group/voucha
Sabtu, 29 Oktober 2011
Seminar BMCHK 29 Oct 2011
Seminar BMCHK: Bakat Minat Cita2 Hobi dan Karakter = Mengenali cara belajar 7 MENIT seseorang anak, guru dan orang tua untuk karir bersama-sama.
Jumat, 14 Oktober 2011
Mengapa Pimpinan Sulit Menilai Bawahan?
Mengapa Pimpinan Sulit Menilai Bawahan?
http://bestcharacters.blogspot.com/2011/10/mengapa-pimpinan-sulit-menilai-bawahan.html
http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=38
Di salah satu sesion program Passion of Teamwork, salah satu topik yang muncul adalah demikian. Seorang karyawan selama ini merasa yang paling berhak menilai prestasi adalah atasan ybs.
Kami selalu mencoba menunjukkan realitas yang sebenarnya, bahwa amat sangat sulit seorang atasan menilai bawahannya dengan obyektif bila tidak dibantu dari ybs untuk unjuk prestasi. Salah satu contoh biasanya kami meminta salah seorang Supervisor atau bahkan Owner untuk dibuat “role play” yang didengarkan oleh para peserta.
Pertanyaannya adalah sbb: “Apabila Anda bekerja keras setiap hari dan pulang jam 20-21 saat tiba di rumah Anda selalu menyaksikan pembantu rumah Anda selalu sedang santai, nonton TV atau Video sambil baca2 majalah yang semuanya milik Anda, apakah yang Anda rasakan?”. Sebagian besar dari para “majikan” lansung mengatakan bahwa adanya perasaan kesal, marah dan/atau sebal”. Kemudian kami tanyakan “ Mengapa dan bagaimana kemungkinan pembantu tsb bisa dinaikkan gajinya atau ditambah kerjaan?”. Selaras dengan pernyataan mereka tadi, bahwa kemungkinan kenaikan gaji tidak maksimal atau ditambah kerjaan. Kami ingatkan kembali, mereka bisa saja sudah santai karena sudah bekerja dan menyelesaikan semua pekerjaan, mengapa kita bisa menjadi demikian “subyektif” dan menghakimi dengan perasaan tersebut.
Demikianlah kondisi seorang “atasan” yang melihat hanya satu anak buahnya, apalagi bila seorang atasan memiliki anak buah yang banyak, sangat subyektif sekali bukan kalau tidak mau disebut “sangat sulit menilai bawahan”? Kemudian kami mencoba menejelaskan kondisi yang bisa saja mirip terjadi, yaitu ada kalanya seorang karyawan sedang apes, saat santai dan main game, kepergok oleh atasannya cukup sering. Apakah nasib sang karyawan akan bisa mirip dengan kondisi sang pembantu tadi? Hasil kerja keras setahun bisa saja dirusak oleh apesnya kejadian tadi.
Sekarang bayangkan bila sang pembantu pada jam-jam tertentu melaporkan bahwa ybs sudah menyelesaikan tugas-tugas dan hal-hal terkait, lalu sang pembantu melanjutkan dengan bertanya “bolehkah saya menonton atau membaca atau santai/beristirahat”? Semua majikan pasti menyetujui tindakan tersebut. Masalahnya adakah pembantu diajarkan cara tersebut? Mungkin bila para TKI kita diajarkan Passion of Teamwork mereka akan bisa unjuk prestasi juga di depan para majikan dan bukannya ditambah-tambah kerjaannya hanya karena lagi “apesnya” sang pembantu.
Bagi Anda sendiri silahkan menilai, manakah sebenarnya yang layak secara obyektif menilai diri Anda, 100% oleh Atasan (yang belum tentu melihat Anda bekerja) atau seluruh Team 360 derajat? Apa yang dinilai, tentunya prestasi dari diri Anda seutuhnya yang sangat mungkin lebih baik daripada hanya “copy”-an JOB DESCRIPTION. Bisa juga Anda mengevaluasi, team kita lebih terlatih mana: unjuk rasa atau unjuk prestasi?
Cerita lain yang lebih menggambarkan Program Passion of Teamwork (BKPI with Free Lifetime Counceling Guarantee) bisa di klik di: http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=33 dan http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=37
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
http://bestcharacters.blogspot.com/2011/10/mengapa-pimpinan-sulit-menilai-bawahan.html
http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=38
Di salah satu sesion program Passion of Teamwork, salah satu topik yang muncul adalah demikian. Seorang karyawan selama ini merasa yang paling berhak menilai prestasi adalah atasan ybs.
Kami selalu mencoba menunjukkan realitas yang sebenarnya, bahwa amat sangat sulit seorang atasan menilai bawahannya dengan obyektif bila tidak dibantu dari ybs untuk unjuk prestasi. Salah satu contoh biasanya kami meminta salah seorang Supervisor atau bahkan Owner untuk dibuat “role play” yang didengarkan oleh para peserta.
Pertanyaannya adalah sbb: “Apabila Anda bekerja keras setiap hari dan pulang jam 20-21 saat tiba di rumah Anda selalu menyaksikan pembantu rumah Anda selalu sedang santai, nonton TV atau Video sambil baca2 majalah yang semuanya milik Anda, apakah yang Anda rasakan?”. Sebagian besar dari para “majikan” lansung mengatakan bahwa adanya perasaan kesal, marah dan/atau sebal”. Kemudian kami tanyakan “ Mengapa dan bagaimana kemungkinan pembantu tsb bisa dinaikkan gajinya atau ditambah kerjaan?”. Selaras dengan pernyataan mereka tadi, bahwa kemungkinan kenaikan gaji tidak maksimal atau ditambah kerjaan. Kami ingatkan kembali, mereka bisa saja sudah santai karena sudah bekerja dan menyelesaikan semua pekerjaan, mengapa kita bisa menjadi demikian “subyektif” dan menghakimi dengan perasaan tersebut.
Demikianlah kondisi seorang “atasan” yang melihat hanya satu anak buahnya, apalagi bila seorang atasan memiliki anak buah yang banyak, sangat subyektif sekali bukan kalau tidak mau disebut “sangat sulit menilai bawahan”? Kemudian kami mencoba menejelaskan kondisi yang bisa saja mirip terjadi, yaitu ada kalanya seorang karyawan sedang apes, saat santai dan main game, kepergok oleh atasannya cukup sering. Apakah nasib sang karyawan akan bisa mirip dengan kondisi sang pembantu tadi? Hasil kerja keras setahun bisa saja dirusak oleh apesnya kejadian tadi.
Sekarang bayangkan bila sang pembantu pada jam-jam tertentu melaporkan bahwa ybs sudah menyelesaikan tugas-tugas dan hal-hal terkait, lalu sang pembantu melanjutkan dengan bertanya “bolehkah saya menonton atau membaca atau santai/beristirahat”? Semua majikan pasti menyetujui tindakan tersebut. Masalahnya adakah pembantu diajarkan cara tersebut? Mungkin bila para TKI kita diajarkan Passion of Teamwork mereka akan bisa unjuk prestasi juga di depan para majikan dan bukannya ditambah-tambah kerjaannya hanya karena lagi “apesnya” sang pembantu.
Bagi Anda sendiri silahkan menilai, manakah sebenarnya yang layak secara obyektif menilai diri Anda, 100% oleh Atasan (yang belum tentu melihat Anda bekerja) atau seluruh Team 360 derajat? Apa yang dinilai, tentunya prestasi dari diri Anda seutuhnya yang sangat mungkin lebih baik daripada hanya “copy”-an JOB DESCRIPTION. Bisa juga Anda mengevaluasi, team kita lebih terlatih mana: unjuk rasa atau unjuk prestasi?
Cerita lain yang lebih menggambarkan Program Passion of Teamwork (BKPI with Free Lifetime Counceling Guarantee) bisa di klik di: http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=33 dan http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=37
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Minggu, 09 Oktober 2011
Selasa, 04 Oktober 2011
3 Faktor Pelatihan PASTI Efektif
http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=37
Sedikitnya ada 3 faktor utama yang justeru sering diabaikan oleh para pengambil keputusan, pelatih, dan peserta. Kami mengumpulkan cukup banyak data dan silahkan Anda lakukan sendiri uji coba sbb:
1. Retention: Coba tanyakan kepada teman atau relasi kita seberapa ingat ybs mengingat suatu pesan yang untuk mudahnya yang diterima saat mendengarkan suatu ceramah (entah hari Minggu atau Jumat dsb). Seberapa persen masih diingat pesan "penting" tersebut. Kalau perlu ditanyakan kembali pesan yang dia terima 2 minggu lalu. Anda akan kaget bahwa walau sang pembicara "luar biasa" penyampaiannya, dalam kondisi khusuk dan tempat/lingkungan yang tepat begitu rendahnya "retention" seseorang terhadap sebuah pesan. Jangan ditanya seberapa ingat mereka akan pesan dari atasan saat di kantor/tempat kerja. Bila skor yang Anda survey ada diatas 25% maka itu sudah lumayan.
2. Repetition: Beberapa cara dilakukan untuk mencegah "retention" atau lupa nya seseorang akan sebuah pesan, maka dilakukan "repetition". Contoh ringkasnya adalah sbb: seorang anak harus tahu bahwa target akhir tahun yang diharapkan orang tuanya adalah naik kelas. Bayangkan apabila sang anak harus diingatkan terus setiap hari soal "naik kelas" atau contoh bagi seorang karyawan target yang harus dikejar tiap hari. Apa akibat yang muncul? Kemungkinan besar adalah munculnya rasa stress. Apabila tim Anda masih di atas 50% bersedia diingatkan soal target rutin (minimal menerima telpon/menjawab SMS Anda) maka sudah termasuk lumayan. Situasi makin rumit sekarang bukan?
3. Subyektifitas: Hal tesebut diatas diperparah oleh adanya unsur Subyektifitas sang manusia. Sebagai contoh, bagi seorang owner/pemilik perusahaan adalah sangat-sangat-sangat wajar bila mengingatkan soal "Perusahaan harus untung sebesar-besarnya dengan biaya yang serendah-rendahnya" karena ini merupakan teori ekonomi mutlak. Akan tetapi apabila hal tersebut disampaikan pemilik terus menerus dalam sebuah rapat, maka kemungkinan besar sebagian karyawan akan pulang memberi tahu isterinya kira-kira apa ya soal kenaikan gaji tahun ini? Sebaliknya kalau saatnya sang anak pemilik perusahaan bertanya kepadanya untuk minta petunjuk mencari perusahaan untuk magang, sebagian besar akan memberikan jawaban kepada sang anak untuk mencari perusahaan yang "bonafid" atau jelasnya mampu memberikan gaji tertinggi dan karena ini menyangkut sang anak, maka diembeli dengan pesan "jangan kerja terlalu keras nanti sakit". Kelihatannya normal bukan? Akan tetapi hal inilah yang disebut contoh subyektifitas, yaitu pesan kepada karyawan dan kepada anak bisa 180 derajat berbeda. Mungkin ditempat Anda kasusnya berbeda, akan tetapi karyawan bisa melihat pasti ada "anak emas" atau "kambing hitam" dalam suatu organisasi. Apabila Anda survey yakin tidak ada istilah "anak emas" atau "kambing hitam" yang menjadi issue dalam organisasi Anda, maka unsur subyektifitas bukanlah momok dalam organisasi Anda.
Dengan adanya salah satu atau kesemua ketiga hal tersebut di atas, tentunya efektifitas suatu TRAINING atau bahkan Penyampaian suatu PESAN (MISI dan VISI) perusahaan menjadi mubazir.
Apabila Anda sudah mencoba mensurvey dengan cara di atas dan sungguh-sungguh ingin mendapatkan solusi atas ke tiga masalah tersebut berdasarkan dari 20 perusahaan yang sudah proven, maka jangan takut untuk berdiskusi dengan kami untuk bersama kita ambil solusinya sehingga kita bisa mendapatkan solusinya mendekati 100%. Tertarik? Silahkan survey terlebih dahulu sendiri ya.
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Sedikitnya ada 3 faktor utama yang justeru sering diabaikan oleh para pengambil keputusan, pelatih, dan peserta. Kami mengumpulkan cukup banyak data dan silahkan Anda lakukan sendiri uji coba sbb:
1. Retention: Coba tanyakan kepada teman atau relasi kita seberapa ingat ybs mengingat suatu pesan yang untuk mudahnya yang diterima saat mendengarkan suatu ceramah (entah hari Minggu atau Jumat dsb). Seberapa persen masih diingat pesan "penting" tersebut. Kalau perlu ditanyakan kembali pesan yang dia terima 2 minggu lalu. Anda akan kaget bahwa walau sang pembicara "luar biasa" penyampaiannya, dalam kondisi khusuk dan tempat/lingkungan yang tepat begitu rendahnya "retention" seseorang terhadap sebuah pesan. Jangan ditanya seberapa ingat mereka akan pesan dari atasan saat di kantor/tempat kerja. Bila skor yang Anda survey ada diatas 25% maka itu sudah lumayan.
2. Repetition: Beberapa cara dilakukan untuk mencegah "retention" atau lupa nya seseorang akan sebuah pesan, maka dilakukan "repetition". Contoh ringkasnya adalah sbb: seorang anak harus tahu bahwa target akhir tahun yang diharapkan orang tuanya adalah naik kelas. Bayangkan apabila sang anak harus diingatkan terus setiap hari soal "naik kelas" atau contoh bagi seorang karyawan target yang harus dikejar tiap hari. Apa akibat yang muncul? Kemungkinan besar adalah munculnya rasa stress. Apabila tim Anda masih di atas 50% bersedia diingatkan soal target rutin (minimal menerima telpon/menjawab SMS Anda) maka sudah termasuk lumayan. Situasi makin rumit sekarang bukan?
3. Subyektifitas: Hal tesebut diatas diperparah oleh adanya unsur Subyektifitas sang manusia. Sebagai contoh, bagi seorang owner/pemilik perusahaan adalah sangat-sangat-sangat wajar bila mengingatkan soal "Perusahaan harus untung sebesar-besarnya dengan biaya yang serendah-rendahnya" karena ini merupakan teori ekonomi mutlak. Akan tetapi apabila hal tersebut disampaikan pemilik terus menerus dalam sebuah rapat, maka kemungkinan besar sebagian karyawan akan pulang memberi tahu isterinya kira-kira apa ya soal kenaikan gaji tahun ini? Sebaliknya kalau saatnya sang anak pemilik perusahaan bertanya kepadanya untuk minta petunjuk mencari perusahaan untuk magang, sebagian besar akan memberikan jawaban kepada sang anak untuk mencari perusahaan yang "bonafid" atau jelasnya mampu memberikan gaji tertinggi dan karena ini menyangkut sang anak, maka diembeli dengan pesan "jangan kerja terlalu keras nanti sakit". Kelihatannya normal bukan? Akan tetapi hal inilah yang disebut contoh subyektifitas, yaitu pesan kepada karyawan dan kepada anak bisa 180 derajat berbeda. Mungkin ditempat Anda kasusnya berbeda, akan tetapi karyawan bisa melihat pasti ada "anak emas" atau "kambing hitam" dalam suatu organisasi. Apabila Anda survey yakin tidak ada istilah "anak emas" atau "kambing hitam" yang menjadi issue dalam organisasi Anda, maka unsur subyektifitas bukanlah momok dalam organisasi Anda.
Dengan adanya salah satu atau kesemua ketiga hal tersebut di atas, tentunya efektifitas suatu TRAINING atau bahkan Penyampaian suatu PESAN (MISI dan VISI) perusahaan menjadi mubazir.
Apabila Anda sudah mencoba mensurvey dengan cara di atas dan sungguh-sungguh ingin mendapatkan solusi atas ke tiga masalah tersebut berdasarkan dari 20 perusahaan yang sudah proven, maka jangan takut untuk berdiskusi dengan kami untuk bersama kita ambil solusinya sehingga kita bisa mendapatkan solusinya mendekati 100%. Tertarik? Silahkan survey terlebih dahulu sendiri ya.
Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling
PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com
www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com
Selasa, 27 September 2011
Bagaimanakah Manajemen Perilaku membantu mengenali Sikap (Attitude) Positif seseorang?
Bagaimanakah Manajemen Perilaku membantu mengenali Sikap (Attitude) Positif seseorang?
Wibawa: bila Anda mudah berhasil mengambil keputusan pada saat orang lain bimbang.
Bijaksana: bila Anda mudah berhasil mempelajari kesalahan orang lain dan memberikan solusi.
Damai: bila Anda paling mampu terus mendamping orang2 bermasalah untuk tetap tetap tenang.
Karisma: bila Anda paling mampu menyuarakan pendapat orang2 lain dan bersedia melakukannya lebih dahulu.
Yang manakah Anda dikenal oleh teman sendiri secara obyektif?
Coba kita belajar dari film ini ya, sikap isteri yang manakah dari ke empat sikap di atas yang Anda pelajari atau lihat:
http://www.youtube.com/watch?v=tqyaXvUH3fI
Wibawa: bila Anda mudah berhasil mengambil keputusan pada saat orang lain bimbang.
Bijaksana: bila Anda mudah berhasil mempelajari kesalahan orang lain dan memberikan solusi.
Damai: bila Anda paling mampu terus mendamping orang2 bermasalah untuk tetap tetap tenang.
Karisma: bila Anda paling mampu menyuarakan pendapat orang2 lain dan bersedia melakukannya lebih dahulu.
Yang manakah Anda dikenal oleh teman sendiri secara obyektif?
Coba kita belajar dari film ini ya, sikap isteri yang manakah dari ke empat sikap di atas yang Anda pelajari atau lihat:
http://www.youtube.com/watch?v=tqyaXvUH3fI
Bayar Harga vs Pelajaran
Bersyukurlah apabila terjadi suatu kesalahan, baik itu bersumber dari orang lain atau diri sendiri.
Belajar sesuatu memang harus bayar harga, sebenarnya kita sudah lebih dahulu bayar terlalu sering tapi belum mampu mengambil pelajarannya.
Reaksi kita terhadap kesalahan itu yang menunjukkan kepada orang lain kita seorang yang BERUNTUNG atau BELUM BERUNTUNG mendapatkan pelajaran tersebut atas "biaya" yang telah kita keluarkan.
(WW)
Belajar sesuatu memang harus bayar harga, sebenarnya kita sudah lebih dahulu bayar terlalu sering tapi belum mampu mengambil pelajarannya.
Reaksi kita terhadap kesalahan itu yang menunjukkan kepada orang lain kita seorang yang BERUNTUNG atau BELUM BERUNTUNG mendapatkan pelajaran tersebut atas "biaya" yang telah kita keluarkan.
(WW)
Selasa, 20 September 2011
Best Characters: Pa HP saya kecebur di toilet...
Best Characters: Pa HP saya kecebur di toilet...: Begitu kata anak saya di pagi hari. Respon pertama saya adalah langsung bergegas melihat bagaimana posisi HP anak saya. Tentu saja sudah kon...
Minggu, 18 September 2011
Pa HP saya kecebur di toilet...
Begitu kata anak saya di pagi hari. Respon pertama saya adalah langsung bergegas melihat bagaimana posisi HP anak saya. Tentu saja sudah kondisi matot (mati total). Sebenarnya saya tahu berdasar beberapa kali kejadian, HP yang tercebur seharusnya cepat di copot baterainya. Anak saya ternyata belum tahu sehingga setelah tercebur cuma di lap kering lalu dipasang dan itu kejadiannya 24 jam yang lalu.
Kelihatannya ini soal sepele, bagaimana mengimbangi rasa jengkel karena HP mahal rusak dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak. Yang jelas setelah bertanya kenapa baru lapor setelah 1 hari, saya mulai mengerti kalau memang saya yang belum sempat ketemu muka dengan anak saya karena kesibukan masing-masing. Memang anak saya belajar minta maaf tetapi saya memberikan pelajaran bahwa walau dia sudah meminta maaf, biaya harus dikeluarkan untuk perbaikan.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan apa itu arti kata: “Memberikan pujian, tantangan, maaf atau nasihat adalah penuh resiko”. Memang itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan siapa saja. Apalagi terhadap anak sendiri bukan?
Demikianlah saya selalu mencoba merenungi kembali tindakan dan perkataan dari lingkungan saya dan anak saya pada pagi ini. Saya bertanya apakah kita mau menghindari resiko atau mensiasati resiko? Saya menjelaskan dengan cara melihat bahwa resiko itu adalah KUANTITATIF (Besar atau Kecil) dan bukan KUALITATIF (Ada atau Tidak).
Memiliki HP berarti secara otomatis ybs langsung memiliki resiko. Nah, bagaimana kita meminimalisasi resiko itu adalah dibutuhkan skill/pengalaman dan pengetahuan. Menggunakannya untuk tujuan berguna atau tidak dibutuhkan sikap (attitude).
Merawat HP berarti juga memiliki resiko. Sekalipun kita pakai HP dekat air yang walaupun kecil (seperti toilet), maka akan meningkatkan resiko kerusakan. Oleh karena itu diperlukan kewaspadaan yang lebih baik. Apabila sekalipun HP tsb terkena resiko seperti tercebur, marah dan maaf pun tidak akan mengubah kondisi HP. Jadi justeru disinilah sikap seseorang diuji. Sebelum dan sesudah HP rusak, penilaian orang lain sebenarnya beralih kepada sikap kita. Jangan lagi didebat soal biaya.
Semoga pelajaran ini juga membuat saya lebih siap mengambil sikap yang tepat karena itu pun saya sudah MENAMBAH lagi resiko, tetapi kali ini ada anak saya yang menjadi teman saya memahami masalah yang akan datang. Nathanael, papa tetap sayang walaupun biayanya memang sudah, sedang dan akan tidak sedikit...
Kelihatannya ini soal sepele, bagaimana mengimbangi rasa jengkel karena HP mahal rusak dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak. Yang jelas setelah bertanya kenapa baru lapor setelah 1 hari, saya mulai mengerti kalau memang saya yang belum sempat ketemu muka dengan anak saya karena kesibukan masing-masing. Memang anak saya belajar minta maaf tetapi saya memberikan pelajaran bahwa walau dia sudah meminta maaf, biaya harus dikeluarkan untuk perbaikan.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan apa itu arti kata: “Memberikan pujian, tantangan, maaf atau nasihat adalah penuh resiko”. Memang itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan siapa saja. Apalagi terhadap anak sendiri bukan?
Demikianlah saya selalu mencoba merenungi kembali tindakan dan perkataan dari lingkungan saya dan anak saya pada pagi ini. Saya bertanya apakah kita mau menghindari resiko atau mensiasati resiko? Saya menjelaskan dengan cara melihat bahwa resiko itu adalah KUANTITATIF (Besar atau Kecil) dan bukan KUALITATIF (Ada atau Tidak).
Memiliki HP berarti secara otomatis ybs langsung memiliki resiko. Nah, bagaimana kita meminimalisasi resiko itu adalah dibutuhkan skill/pengalaman dan pengetahuan. Menggunakannya untuk tujuan berguna atau tidak dibutuhkan sikap (attitude).
Merawat HP berarti juga memiliki resiko. Sekalipun kita pakai HP dekat air yang walaupun kecil (seperti toilet), maka akan meningkatkan resiko kerusakan. Oleh karena itu diperlukan kewaspadaan yang lebih baik. Apabila sekalipun HP tsb terkena resiko seperti tercebur, marah dan maaf pun tidak akan mengubah kondisi HP. Jadi justeru disinilah sikap seseorang diuji. Sebelum dan sesudah HP rusak, penilaian orang lain sebenarnya beralih kepada sikap kita. Jangan lagi didebat soal biaya.
Semoga pelajaran ini juga membuat saya lebih siap mengambil sikap yang tepat karena itu pun saya sudah MENAMBAH lagi resiko, tetapi kali ini ada anak saya yang menjadi teman saya memahami masalah yang akan datang. Nathanael, papa tetap sayang walaupun biayanya memang sudah, sedang dan akan tidak sedikit...
Senin, 22 Agustus 2011
Semakin Marah Semakin Sayang?
Anak saya yang bungsu berusia 7 tahun sering bertanya dengan nada yang ingin supaya disetujui mutlak bila meminta sesuatu. Contohnya: "Pa, boleh Evan main game sekarang?" dan saya tahu kalau jawaban yang diharapkan adalah "ya!". Karena apabila saya jawab "Tidak" maka dia biasanya langsung pasang muka cemberut dan mulai ber"filsafat". Contohnya, "kok ngga sayang Evan", "Papa kok jawabnya marah sih?" dsb. Padahal siapa sih yang ngga sayang sama anak sendiri, juga masa sih sang anak yang marah malah dibilang Papanya yang marah karena bilang tidak sesuai dengan keinginannya. Wah, serba sulit mengerti juga ya kalau sang anak maunya di setujui terus permintaannya. Padahal kita juga yang ajarin dulu waktu masih kecil untuk mulai belajar meminta.
Sekarang saya kembali merenung, mengapa pasangan kita dan anak-anak kita cenderung lebih sensitif kepada orang yang terdekat. Sempat saya komplain kepada mereka (walau sebenarnya ini cuma kerinduan pribadi) kalau mereka lebih banyak suka-citanya kalau dalam lingkungan teman-temannya. Misalnya, kalau saya salah jalan, rasanya sindiran atau teguran dari isteri dan anak-anak lebih "to the point" deh. Padahal kalau dengan teman2nya saya pernah melihat sendiri mereka bisa mengucapkan sambil bercanda dan tidak mempersalahkan kesalahan seperti itu. Yang jelas ada sih rasa "iri" kalau anak saya menunggu temannya pulang sekolah untuk bermain di depan rumah, bertanya terus kepada saya kapan pulangnya sang teman tsb padahal saya di sebelahnya lho.
Kembali kepada anak saya, setelah saya diam dan tidak merespon atas "kemarahan"-nya, maka beberapa lama kemudian dia mulai mendekati saya lagi dan biasanya kami mulai bercanda kembali. Dan kejutan buat saya adalah dia memeluk saya dan mencium sambil mengatakan "I love you Papa". Setelah saya alami sendiri beberapa kali, maka saya mulai menyadari bahwa sikap terhadap "kemarahan" seseorang adalah dengan DIAM. Demikian pula ketika saya yang mulai marah apabila ada seseorang yang saya tegur tidak juga sadar akan ke-"tidak-suka"-an saya atas salah satu perilakunya, saya mulai memberikan juga waktu dan ruang jeda bagi kami berdua untuk merenungi.
Rasanya saya mulai menyadari kalau kita marah dan marah-marah perbedaannya adalah adanya waktu dan ruang jeda. Bagi marah yang positif, tentunya marah hanya pada saat tertentu dan selesai saat itu juga. Sedangkan marah-marah merupakan kebiasaan yang justeru semakin lama semakin tidak sehat karena intensitasnya bisa semakin liar.
Bagaimana marah itu berakibat jelek? Seperti contoh, ada seorang yang gila memukuli orang-orang di pasar. Kemudian gantian orang-orang di pasar memukuli orang gila tsb. Nah, jadi berapa sekarang orang gila di pasar? Tadinya cuma satu orang gila, sekarang mengapa bisa menjadi banyak?
Bagaimana marah bisa berakibat baik? Kita bisa lihat saat ini lebih banyak orang yang "marah" peduli dengan nasib bangsa kita dengan membaca berita-berita di koran Nasional saat ini. Begitu banyak berita yang menurut saya berimbang dan membuat rakyat menjadi cerdas dan memberikan masukan kepada Pemerintah untuk bisa lebih serius menangani segala penyimpangan. Mengapa saya menyebut hal ini sebagai marah yang berakibat baik? Salah satu alasan adalah dengan lebih transparan-nya media melaporkan tindakan penyelewengan dan korupsi maka semakin hati-hati seseorang berbisnis atau berdinas akhir-akhir ini. Salah satunya adalah seorang teman saya menceritakan bahwa kalau ada petugas pajak yang datang ke perusahaan, sekarang ini bahkan saat diberikan air minum pun sang petugas pajak tsb langsung menolak dengan sopan dengan mengatakan, bahwa dia sedang bertugas sebentar saja dan mengatakan kami sudah minum dan akan segera menyelesaikan tugasnya secepatnya.
Contoh lainnya, ketika kami melewati jalan tol Tgr-Jkt yang sangat mulus (saat tulisan ini dibuat bulan Agustus 2011) dan saya berujar bahwa kualitas jalan tol ini sudah seperti di luar negeri, anak saya menimpali bahwa ini gara-gara Nazarudin yang tertangkap. Isteri saya langsung terbahak bahwa anak-anak saja sudah mengerti kalau efek seseorang yang dipublikasikan karena perbuatan negatifnya maka akan membuat para pebisnis juga akan lebih cermat bekerja bukan? Karena itu dampak dari kemarahan rakyat sudah jelas dan pasti atas segala perilaku korupsi.
Kalau begitu Pemerintah seharusnya berterima-kasih kepada mereka yang marah terhadap penyelewengan karena tidak perlu didebat tetapi ini tanda rakyat masih sayang banget dengan Pemerintah bukan?
Akhir kata, kalau kita di"marah"in oleh orang lain, jangan cepat stress atau frustasi dulu atau balas memarahi dulu, tetapi jangan-jangan ini karena ada orang yang menyayangi kita bukan? Tentu saja bukti sayang bukan berarti harus marah ya.
(William Wiguna)
Sekarang saya kembali merenung, mengapa pasangan kita dan anak-anak kita cenderung lebih sensitif kepada orang yang terdekat. Sempat saya komplain kepada mereka (walau sebenarnya ini cuma kerinduan pribadi) kalau mereka lebih banyak suka-citanya kalau dalam lingkungan teman-temannya. Misalnya, kalau saya salah jalan, rasanya sindiran atau teguran dari isteri dan anak-anak lebih "to the point" deh. Padahal kalau dengan teman2nya saya pernah melihat sendiri mereka bisa mengucapkan sambil bercanda dan tidak mempersalahkan kesalahan seperti itu. Yang jelas ada sih rasa "iri" kalau anak saya menunggu temannya pulang sekolah untuk bermain di depan rumah, bertanya terus kepada saya kapan pulangnya sang teman tsb padahal saya di sebelahnya lho.
Kembali kepada anak saya, setelah saya diam dan tidak merespon atas "kemarahan"-nya, maka beberapa lama kemudian dia mulai mendekati saya lagi dan biasanya kami mulai bercanda kembali. Dan kejutan buat saya adalah dia memeluk saya dan mencium sambil mengatakan "I love you Papa". Setelah saya alami sendiri beberapa kali, maka saya mulai menyadari bahwa sikap terhadap "kemarahan" seseorang adalah dengan DIAM. Demikian pula ketika saya yang mulai marah apabila ada seseorang yang saya tegur tidak juga sadar akan ke-"tidak-suka"-an saya atas salah satu perilakunya, saya mulai memberikan juga waktu dan ruang jeda bagi kami berdua untuk merenungi.
Rasanya saya mulai menyadari kalau kita marah dan marah-marah perbedaannya adalah adanya waktu dan ruang jeda. Bagi marah yang positif, tentunya marah hanya pada saat tertentu dan selesai saat itu juga. Sedangkan marah-marah merupakan kebiasaan yang justeru semakin lama semakin tidak sehat karena intensitasnya bisa semakin liar.
Bagaimana marah itu berakibat jelek? Seperti contoh, ada seorang yang gila memukuli orang-orang di pasar. Kemudian gantian orang-orang di pasar memukuli orang gila tsb. Nah, jadi berapa sekarang orang gila di pasar? Tadinya cuma satu orang gila, sekarang mengapa bisa menjadi banyak?
Bagaimana marah bisa berakibat baik? Kita bisa lihat saat ini lebih banyak orang yang "marah" peduli dengan nasib bangsa kita dengan membaca berita-berita di koran Nasional saat ini. Begitu banyak berita yang menurut saya berimbang dan membuat rakyat menjadi cerdas dan memberikan masukan kepada Pemerintah untuk bisa lebih serius menangani segala penyimpangan. Mengapa saya menyebut hal ini sebagai marah yang berakibat baik? Salah satu alasan adalah dengan lebih transparan-nya media melaporkan tindakan penyelewengan dan korupsi maka semakin hati-hati seseorang berbisnis atau berdinas akhir-akhir ini. Salah satunya adalah seorang teman saya menceritakan bahwa kalau ada petugas pajak yang datang ke perusahaan, sekarang ini bahkan saat diberikan air minum pun sang petugas pajak tsb langsung menolak dengan sopan dengan mengatakan, bahwa dia sedang bertugas sebentar saja dan mengatakan kami sudah minum dan akan segera menyelesaikan tugasnya secepatnya.
Contoh lainnya, ketika kami melewati jalan tol Tgr-Jkt yang sangat mulus (saat tulisan ini dibuat bulan Agustus 2011) dan saya berujar bahwa kualitas jalan tol ini sudah seperti di luar negeri, anak saya menimpali bahwa ini gara-gara Nazarudin yang tertangkap. Isteri saya langsung terbahak bahwa anak-anak saja sudah mengerti kalau efek seseorang yang dipublikasikan karena perbuatan negatifnya maka akan membuat para pebisnis juga akan lebih cermat bekerja bukan? Karena itu dampak dari kemarahan rakyat sudah jelas dan pasti atas segala perilaku korupsi.
Kalau begitu Pemerintah seharusnya berterima-kasih kepada mereka yang marah terhadap penyelewengan karena tidak perlu didebat tetapi ini tanda rakyat masih sayang banget dengan Pemerintah bukan?
Akhir kata, kalau kita di"marah"in oleh orang lain, jangan cepat stress atau frustasi dulu atau balas memarahi dulu, tetapi jangan-jangan ini karena ada orang yang menyayangi kita bukan? Tentu saja bukti sayang bukan berarti harus marah ya.
(William Wiguna)
Senin, 15 Agustus 2011
"Mengapa Seseorang Membeli Mobil Mahal?"
Begitulah pertanyaan anak saya yang ABG saat kami jalan sehat di pagi hari ybl. Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja ketika Nathanael melihat sebuah mobil Taksi yang masih baru dan mulus melewati kami. Kemudian dia melanjutkan, "Apakah ngga rugi ya beli mobil mahal2?".
Saya berharap disinilah awal diskusi yang sehat untuk dimulai. Saya mencoba berhitung dengan anak saya untuk membeli sebuah mobil katakanlah seharga Rp. 200 juta, dan kemudian setelah 2 tahun dijual dengan harga Rp. 100 juta, sehingga bisa dikatakan seperti anak saya tadi bahwa pasti rugi, yaitu Rp. 100 juta.
Karena minat anak saya bertambah, maka saya coba bantu hitung secara kasar, bahwa selama 2 tahun merugi Rp.100 juta itu berarti sekitar Rp. 140 rib/hari. Nah, saya katakan bahwa kalau mobil dibeli dan tidak dipakai maka sekitar itulah kerugiannya. Kemudian saya ajak dia berpikir, kalau seorang sopir Taksi menggunakan mobil tersebut dan mendapatkan penghasilan rata2 Rp. 400 ribu/hari, maka dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 260 ribu/hari, atau sekitar Rp. 180 juta dan bukan rugi Rp. 100 juta dalam 2 tahun tersebut. Sampai disini anak saya langsung kaget dan bertanya "wah berarti tidak rugi dong membeli mobil ya?".
Begitulah akhirnya anak saya mulai menyadari bahwa sebenarnya tubuh dan jiwa kita pun seperti sebuah kendaraan yang diberikan oleh Tuhan untuk kita gunakan. Ada yang menggunakan untuk kegiatan sehingga bisa memberikan hidup bagi orang lain dan ternyata masih ada juga yang hidup tetapi bahkan untuk makan sendiri saja kesulitan. Memang agak susah memahami bahwa saat sekarang ini dengan jumlah waktu yang sama 24 jam dan kondisi fisik yang relatif sama, ternyata output dari seseorang bisa berbeda2, untuk anak seusia Nathanael.
Saat ini anak saya memang masih berumur 13 tahun, tetapi mulai belajar menepati jadwal belajar dan bermain sesuai waktu yang tersedia, tetapi pada pagi itu saya menyadari bahwa dia sedang mendapat kesempatan untuk bisa lebih mengerti bagaimana orang lain menghargai segala suatu pemberian, termasuk pemberian melalui orang tua, pekerjaan dan sebagainya. Kebetulan kami juga pernah mendapatkan kesempatan ketika ada anak kecil yang sedang mengamen di perempatan Cideng, dan kami berikan uang Rp. 10 ribu, dia bisa melihat sendiri bahwa sang anak tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan ini merupakan kesempatan yang langka saat kami bisa menyaksikan sendiri bahwa betapa kita sering lupa berterima-kasih atau kadar bersyukur yang berbeda kalau hidup kita selalu tercukupi dibandingkan saat kita sedang membutuhkan sesuap nasi atau seteguk air minum.
Demikian saya pagi itu saat berjalan sehat dan bersama anak kembali menemukan cara pikir yang sederhana untuk menentukan bagaimana menjelaskan mahal atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan cara kita menghargai dengan sebanyak apa bisa kita berikan manfaat sesuatu bagi orang lain dan bila kita harus mengalami kesusahan supaya kita bisa lebih diingatkan betapa bersyukurnya kita masih bisa hidup.
Orang bijak bilang kalau masih sulit merasa bersyukur, walau sedang menerima cobaan, coba hitung berkat2 yang telah kita terima dari 0 tahun sd sekarang... Saya pernah coba dan hasil hitungannya selesai baru pada keesokan harinya dimana saya selesai bangun dengan segar, seperti halnya pada pagi hari ini. Terima kasih Tuhan atas setiap kesulitan dan berkat yang kami terima...
William Wiguna (45) refleksi bersama Nathanael Wiguna (13)
Saya berharap disinilah awal diskusi yang sehat untuk dimulai. Saya mencoba berhitung dengan anak saya untuk membeli sebuah mobil katakanlah seharga Rp. 200 juta, dan kemudian setelah 2 tahun dijual dengan harga Rp. 100 juta, sehingga bisa dikatakan seperti anak saya tadi bahwa pasti rugi, yaitu Rp. 100 juta.
Karena minat anak saya bertambah, maka saya coba bantu hitung secara kasar, bahwa selama 2 tahun merugi Rp.100 juta itu berarti sekitar Rp. 140 rib/hari. Nah, saya katakan bahwa kalau mobil dibeli dan tidak dipakai maka sekitar itulah kerugiannya. Kemudian saya ajak dia berpikir, kalau seorang sopir Taksi menggunakan mobil tersebut dan mendapatkan penghasilan rata2 Rp. 400 ribu/hari, maka dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 260 ribu/hari, atau sekitar Rp. 180 juta dan bukan rugi Rp. 100 juta dalam 2 tahun tersebut. Sampai disini anak saya langsung kaget dan bertanya "wah berarti tidak rugi dong membeli mobil ya?".
Begitulah akhirnya anak saya mulai menyadari bahwa sebenarnya tubuh dan jiwa kita pun seperti sebuah kendaraan yang diberikan oleh Tuhan untuk kita gunakan. Ada yang menggunakan untuk kegiatan sehingga bisa memberikan hidup bagi orang lain dan ternyata masih ada juga yang hidup tetapi bahkan untuk makan sendiri saja kesulitan. Memang agak susah memahami bahwa saat sekarang ini dengan jumlah waktu yang sama 24 jam dan kondisi fisik yang relatif sama, ternyata output dari seseorang bisa berbeda2, untuk anak seusia Nathanael.
Saat ini anak saya memang masih berumur 13 tahun, tetapi mulai belajar menepati jadwal belajar dan bermain sesuai waktu yang tersedia, tetapi pada pagi itu saya menyadari bahwa dia sedang mendapat kesempatan untuk bisa lebih mengerti bagaimana orang lain menghargai segala suatu pemberian, termasuk pemberian melalui orang tua, pekerjaan dan sebagainya. Kebetulan kami juga pernah mendapatkan kesempatan ketika ada anak kecil yang sedang mengamen di perempatan Cideng, dan kami berikan uang Rp. 10 ribu, dia bisa melihat sendiri bahwa sang anak tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan ini merupakan kesempatan yang langka saat kami bisa menyaksikan sendiri bahwa betapa kita sering lupa berterima-kasih atau kadar bersyukur yang berbeda kalau hidup kita selalu tercukupi dibandingkan saat kita sedang membutuhkan sesuap nasi atau seteguk air minum.
Demikian saya pagi itu saat berjalan sehat dan bersama anak kembali menemukan cara pikir yang sederhana untuk menentukan bagaimana menjelaskan mahal atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan cara kita menghargai dengan sebanyak apa bisa kita berikan manfaat sesuatu bagi orang lain dan bila kita harus mengalami kesusahan supaya kita bisa lebih diingatkan betapa bersyukurnya kita masih bisa hidup.
Orang bijak bilang kalau masih sulit merasa bersyukur, walau sedang menerima cobaan, coba hitung berkat2 yang telah kita terima dari 0 tahun sd sekarang... Saya pernah coba dan hasil hitungannya selesai baru pada keesokan harinya dimana saya selesai bangun dengan segar, seperti halnya pada pagi hari ini. Terima kasih Tuhan atas setiap kesulitan dan berkat yang kami terima...
William Wiguna (45) refleksi bersama Nathanael Wiguna (13)
Kamis, 28 Juli 2011
Best Characters: Anak Tipe A dan B
Best Characters: Anak Tipe A dan B: "Sebagai gambaran sederhana adalah seperti ini. Adalah seorang Ayah yang memiliki dua anak menjelang remaja katakanlah A dan B. Suatu ketika ..."
Anak Tipe A dan B
Sebagai gambaran sederhana adalah seperti ini. Adalah seorang Ayah yang memiliki dua anak menjelang remaja katakanlah A dan B. Suatu ketika A mendatangi Ayahnya dan berkata, "Ayah minta dibelikan sepeda dong?". Ketika Ayahnya bertanya, "kenapa ya?", A langsung menjawab bahwa teman2-nya semua sudah pada punya sepeda. Suatu jawaban yang normal bukan?
Kemudian B juga mendatangi Ayahnya, dan berkata, " Ayah, minggu ini kamar kerja Ayah sudah saya rapihkan, mobil Ayah juga sudah saya bantu bersihkan". Sama juga sang Ayah bertanya, "kenapa ya?", B langsung menjawab, "boleh ngga saya dibelikan sepeda?"
Menurut Anda mana permintaan dan alasan yang "membangkitkan semangat" bagi sang Ayah? Bila Anda menjawab yang B, saya juga demikian.
Nah, pertanyaan buat Anda, apakah kebanyakan karyawan (apapun level-nya) di tempat Anda tipe "anak" yang mana? tipe A atau B?
Program Passion of Teamwork Care Plus Indonesia menjamin team Anda akan menjadi tipe B semuanya 100%. Kami sudah melakukan coach gaya baru dalam 2 tahun ini dengan lebih dari 20 perusahaan dengan hasil yang luar biasa dan sangat terukur serta dengan GARANSI SEUMUR HIDUP.
Apabila Anda tertarik, hubungi kami untuk bisa mendapatkan PREVIEW Program 1 jam secara FREE bersama team Anda.
Salam Karakter
Kemudian B juga mendatangi Ayahnya, dan berkata, " Ayah, minggu ini kamar kerja Ayah sudah saya rapihkan, mobil Ayah juga sudah saya bantu bersihkan". Sama juga sang Ayah bertanya, "kenapa ya?", B langsung menjawab, "boleh ngga saya dibelikan sepeda?"
Menurut Anda mana permintaan dan alasan yang "membangkitkan semangat" bagi sang Ayah? Bila Anda menjawab yang B, saya juga demikian.
Nah, pertanyaan buat Anda, apakah kebanyakan karyawan (apapun level-nya) di tempat Anda tipe "anak" yang mana? tipe A atau B?
Program Passion of Teamwork Care Plus Indonesia menjamin team Anda akan menjadi tipe B semuanya 100%. Kami sudah melakukan coach gaya baru dalam 2 tahun ini dengan lebih dari 20 perusahaan dengan hasil yang luar biasa dan sangat terukur serta dengan GARANSI SEUMUR HIDUP.
Apabila Anda tertarik, hubungi kami untuk bisa mendapatkan PREVIEW Program 1 jam secara FREE bersama team Anda.
Salam Karakter
Langganan:
Postingan (Atom)